Kamis, 23 Juni 2016

Hikmah Ibadah Puasa Ramadhan



Ibadah puasa Ramadhan memiliki banyak keutamaan, dan diantara keutamaan tersebut sebagian besar manfaat/hikmahnya merupakan untuk diri kita sendiri.
Hikmah berpuasa yang kita dapatkan ini tentunya berkaitan erat dengan amalan puasa yang kita jalani dan tentunya amalan pada puasa ramadhan bukanlah hanya menahan makan dan minum saja, melainkan juga menjalankan amalan ibadah Ramadhan lainnya, seperti bersedekah, Itikaf, Silaturahmi, Menghindari diri  dari yang haram, dan banyak lagi.
Maka dari itu, agar lebih termotivasi dalam menyempurnakan puasa tahun 2013 ini, kami sajikan untuk Anda 10 hikmah melaksanaka ibadah puasa Ramadhan yang dikutip dari berbagai sumber, selamat menyimak.
  1. Melatih Disiplin Waktu — Untuk menghasilkan puasa yang tetap fit dan kuat di siang hari, maka tubuh memerlukan istirahat yang cukup, hal ini membuat kita tidur lebih teratur demi lancarnya puasa. Bangun untuk makan sahur dipagi hari juga melatih kebiasaan untuk bangun lebih pagi untuk mendapatkan rejeki (makanan).
  2. Keseimbangan dalam Hidup — Pada hakikatnya kita adalah hamba Allah yang diperintahkan untuk beribadah. Namun sayang hanya karena hal duniawi seperti pekerjaan, hawa nafsu dan lain-lain kita sering melupakan kewajiban kita. Pada bulan puasa ini kita terlatih untuk kembali mengingat dan melaksanakan seluruh kewajiban tersebut dengan imbalan pahala yang dilipatgandakan.
  3. Mempererat Silaturahmi — Dalam Islam ada persaudaraan sesama muslim, akan tampak jelas jika berada dibulan Ramadhan, Orang memberikan tajil perbukaan puasa gratis. Sholat bersama di masjid, memberi ilmu islam dan banyak ilmu Islam di setiap ceramah dan diskusi keagamaan yang dilaksanakan di Masjid.
  4. Lebih Perduli Pada Sesama — Dalam Islam ada persaudaraan sesama muslim, akan tampak jelas jika berada dibulan Ramadhan, Orang memberikan tajil perbukaan puasa gratis. Sholat bersama di masjid, memberi ilmu islam dan banyak ilmu Islam di setiap ceramah dan diskusi keagamaan yang dilaksanakan di Masjid.
  5. Tahu Bahwa Ibadah Memiliki Tujuan — Tujuan puasa adalah melatih diri kita agar dapat menghindari dosa-dosa di hari yang lain di luar bulan Ramadhan. Kalau tujuan tercapai maka puasa berhasil. Tapi jika tujuannya gagal maka puasa tidak ada arti apa-apa. Jadi kita terbiasa berorientasi kepada tujuan dalam melakukan segala macam amal ibadah.
  6. Tiap Kegiatan Mulia Merupakan Ibadah — Setiap langkah kaki menuju masjid ibadah, menolong orang ibadah, berbuat adil pada manusia ibadah, tersenyum pada saudara ibadah, membuang duri di jalan ibadah, sampai tidurnya orang puasa ibadah, sehingga segala sesuatu dapat dijadikan ibadah. Sehingga kita terbiasa hidup dalam ibadah. Artinya semua dapat bernilai ibadah.
  7. Berhati-hati Dalam Berbuat — Puasa Ramadhan akan sempurna dan tidak sia-sia apabila selain menahan lapar dan haus juga kita menghindari keharaman mata, telinga, perkataan dan perbuatan. atihan ini menimbulkan kemajuan positif bagi kita jika diluar bulan Ramadhan kita juga dapat menghindari hal-hal yang dapat menimbulkan dosa seperti bergunjing, berkata kotor, berbohong, memandang yang dapat menimbulkan dosa, dan lain sebagainya.
  8. Berlatih Lebih Tabah — Dalam Puasa di bulan Ramadhan kita dibiasakan menahan yang tidak baik dilakukan. Misalnya marah-marah, berburuk sangka, dan dianjurkan sifat Sabar atas segala perbuatan orang lain kepada kita. Misalkan ada orang yang menggunjingkan kita, atau mungkin meruncing pada Fitnah, tetapi kita tetap Sabar karena kita dalam keadaan Puasa.
  9. Melatih Hidup Sederhana — Ketika waktu berbuka puasa tiba, saat minum dan makan sedikit saja kita telah merasakan nikmatnya makanan yang sedikit tersebut, pikiran kita untuk makan banyak dan bermacam-macam sebetulnya hanya hawa nafsu saja.
  10. Melatih Untuk Bersyukur — Dengan memakan hanya ada saat berbuka, kita menjadi lebih mensykuri nikmat yang kita miliki saat tidak berpuasa. Sehingga kita dapat menjadi pribadi yang lebih mensyukuri nikmat Allah SWT.
Demikianlah hikmah dalam melaksanakan ibadah puasa Ramadhan, semoga bermanfaat bagi kita umat muslim.

Model Pembelajaran Integrated Twin Towers (serial 1)

Oleh: Akh. Muzakki
Ketua Tim Konversi UINSA
Integrasi keilmuan
Mengembangkan keislaman
Jiwa pertiwi bermartabat
Berkembang – berkembang
Puji syukur kepadaMu
Kujunjung dan kusanjungkan
Nusa Bangsa dan Negara Indonesia
UINSA tercinta jaya
Itulah bait ref dari lirik Hymne UINSA yang menjadi lagu wajib keluarga besar Universitas Islam negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya, kampus yang kini lebih dikenal dengan akronim UINSA. Bait ref itu dengan sangat baik sekali menggambarkan semangat dasar pengembangan keilmuan yang dilakukan oleh UINSA: integrasi keilmuan. Semangat integrasi keilmuan tersebut diwujudkan dengan mengembangkan desain akademik ilmu-ilmu keislaman, sosial-humaniora, serta sains dan teknologi yang berbasis pada karakter dan kultur keislaman yang berakar pada kekhasan nasional Indonesia.
Hymne UINSA itu sendiri menandai era baru pengembangan keilmuan yang menjadi konteks dari pengembangan kelembagaan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) menjadi UIN. Muatan integrasi keilmuan yang diusung oleh bait ref dari lirik Hymne UINSA di atas merupakan nilai yang juga diamanatkan oleh, dan menjadi pertimbangan lahirnya, Peraturan Presiden RI Nomor 65 Tahun 2013 tentang perubahan IAIN Sunan Ampel Surabaya menjadi UIN Sunan Ampel Surabaya. Dalam poin "menimbang", Perpres tersebut menyebutkan: "bahwa dalam rangka memenuhi tuntutan perkembangan ilmu pengetahuan dan proses integrasi ilmu agama Islam dengan ilmu lain serta mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas, perlu menetapkan Peraturan Presiden tentang PerubahanInstitut Agama Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya menjadi Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya."
Pesan partikularnya, perubahan kelembagaan IAIN menjadi UIN Sunan Ampel Surabaya di antaranya dilatarbelakangi oleh kepentingan integrasi keilmuan. Untuk kepentingan spesifik pengembangan integrasi keilmuan itu, kelembagaan IAIN Sunan Ampel Surabaya dikembangkan menjadi UIN Sunan Ampel Surabaya. Sebagai konsekuensi akademik dari perubahan kelembagaan dimaksud, berbagai disiplin keilmuan memungkinkan untuk dibuka dan diselenggarakan di dalamnya. Disiplin keilmuan selain ilmu-ilmu keislaman dilegalisasi untuk diselenggarakan bersama ilmu-ilmu keislaman itu sendiri. Oleh karena itu, dalam perspektif stuktur organisasi dan tata kelola, sejumlah program studi (prodi) dan fakultas baru yang berbasis keilmuan selain ilmu-ilmu keislaman dibuka. Prodi-prodi dan fakultas-fakultas tersebut mendampingi prodi-prodi dan fakultas-fakultas yang berbasis ilmu-ilmu keislaman yang selama ini ada.
Perubahan kelembagaan di atas bisa diibaratkan begini: rumah sudah berubah dan sudah direnovasi. Kamar-kamar lama diperbaiki dan dikembangkan. Kamar-kamar baru juga sudah disiapkan. Kalau sebelumnya, sebagai misal, di tanah yang luas itu hanya didirikan rumah dengan bangunan 200 m2, maka sekarang rumah itu diperlebar. Desainnya dibuat sedemikian rupa untuk mengakomodasi pelebaran bangunan rumah itu. Kalau sebelumnya rumah itu berisi 5 kamar, sebagai contoh lain, kini rumah itu dikembangkan dengan tambahan 4 kamar baru. Kamar lama tetap ada dengan beberapa renovasi, dan kamar baru dibuat secara berdampingan atau berjajar dengan kamar yang lama. Walhasil, rumah beserta kamar-kamar yang ada di dalamnya telah diperbaiki dan bahkan dibangun kembali dengan sejumlah penambahan baru. Namun, 5 kamar lama tetap menempati posisi utama di rumah baru itu.
Pekerjaan yang tersisa adalah bagaimanakah mendesain interior dan menata barang-barang di dalam rumah itu agar memunculkan suasana yang baru, segar, dan sehat untuk kebaikan dan perbaikan kualitas hidup penghuninya. Termasuk pula bagaimana mereka yang tinggal di dalamnya ikut berubah pemahaman, sikap dan perilaku saat mereka sudah berada di dalam rumah dan kamar baru itu. Kebiasan luhur selama ini memang cukup banyak, mulai dari pemahaman bahwa rumah itu harus Islami hingga praktik yang menghendaki agar nilai Islam menjadi bagian dari kehidupan. Semua itu mesti dilestarikan di rumah dan kamar baru itu.
Namun demikian, sangat tidak diharapkan jika di rumah dan kamar yang telah dibuat baru dengan desain interior dan perlengkapan yang baru, segar, dan sehat pula itu, masih berkembang pemahaman, sikap dan perilaku lama yang tidak sehat pada para penghuni. Yang diharapkan, minimal, ada beberapa penyesuaian pemahaman, sikap dan perilaku dari penghuni terhadap tuntutan, harapan, dan kondisi yang diidealisasikan tumbuh-berkembang di rumah dan kamar baru dengan berbagai potensi yang ada di dalamnya. Itu semua dibutuhkan agar pemahaman, sikap dan perilaku bergerak seiring dengan perubahan rumah dan kamar dengan berbagai fasilitas baru yang ada di dalamnya.
Atas dasar itu semua, makna penting dari substansi yang dikembangkan oleh ilustrasi perubahan kelembagaan di atas sudah dari awal dipikirkan secermat mungkin. Desain integrasi keilmuan sudah sejak dari awal niat pengembangan kelembagaan (tahun 2009) dibuat dan menjadi bagian penting dari paket perubahan IAIN Sunan Ampel menjadi UINSA. Seperti dijelaskan dalam buku Desain Akademik UIN Sunan Ampel Surabaya (2013), pengembangan keilmuan di UINSA menggunakan paradigma integrated twin towers. Secara epistemologis, paradigma keilmuan integrated twin towers, sebagaimana diuraikan buku tersebut (2013: 34-35),membangun:
struktur keilmuan yang memungkinkan ilmu keagamaan dan ilmu sosial/humaniora serta ilmu alam berkembang secara memadai dan wajar. Keduanya memiliki kewibawaan yang sama, sehingga antara satu dengan lainnya tidak saling merasa superior atau inferior. Ilmu keislaman berkembang dalam kapasitas dan kemungkinan perkembangannya, demikian pula ilmu lainnya juga berkembang dalam rentangan dan kapasitasnya. Ilmu keislaman laksana sebuah menara yang satu dan ilmu lainnya seperti menara satunya lagi. Keduanya tersambung dan bertemu dalam puncak yang saling menyapa, yang dikenal dengan konsep ilmu keislaman multidisipliner. Menara yang satu menjadi subject matter dan lainnya sebagai pendekatan, sebagaimana diuraikan di atas.
Desain akademik yang didasarkan pada paradigma integrated twin towers di atas memiliki peranan penting untuk lahirnya integrasi keilmuan yang baik dengan memberi manfaat akademik resiprokal yang kuat kepada disiplin keilmuan yang berbeda-beda di dalam struktur kelembagaan UINSA. Peranan penting ini pun sudah digambarkan oleh buku Desain Akademik UIN Sunan Ampel Surabaya (2013:28) tersebut sebagaimana berikut: "Harapannya, melalui pengembangan kelembagaan dalam wadah UIN, IAIN Sunan Ampel Surabaya dapat memberi kontribusi perkembangan ilmu melalui menara kembar tersambung yang dibangun, dengan memberikan perhatian yang sama terhadap dua sisi ilmu (agama dan umum) sehingga dapat menjadi penerang bagi satu sama lain."
Output pendidikan yang ingin diraih dari integrasi keilmuan berparadigma integrated twin towers di atas adalah terciptanya lulusan yang ulul albab. Al-Qur'an sendiri sebanyak 16 kali menyebut konsep ulul albab untukmenjelaskan pentingnya sumber daya manusia dengan kualifikasi personal dan sosial, akademik dan non-akademik, seperti yang salah satunya ingin diciptakan oleh UINSA. Buku Desain Akademik UIN Sunan Ampel Surabaya (2013:46) telah mencatat, figur ulul albab tersebut bisa dicirikan melalui pribadi yang mampu mengintegrasikan praktik dzikir dan fikir dalam praktik kehidupan sehari-hari (al-Qur'an 39:9; 3:7), memiliki kedewasaan bersikap dan mengambil pilihan yang terbaik dalam hidup berdasarkan petunjuk ilahi (al-Qur'an 39:18; 5:100), serta mempersembahkan kemapanan intelektual (al-Qur'an 39:18; 3:190).
Melalui integrasi keilmuan berparadigma integrated twin towers di atas, UINSA memaknai dan menerjemahkan secara lebih konkret konsep ulul albab ke dalam standar kompetensi lulusan yang memiliki kekayaan intelektual, kematangan spiritual, dan kearifan perilaku. Kekayaan intelektual diharapkan mampu mengatarkan individu lulusan yang memiliki kepribadian smart (cerdas). Kematangan spiritual diidealisasikan agar tertanam kuat dalam diri inidividu lulusan kepribadian honourable (bermartabat). Kearifan perilaku dimaksudkan agar individu lulusan diperkaya dengan kepribadian pious (berbudi Luhur). Dengan ciri khas pengembangan akademik-keilmuan ini semua, maka UINSA mengembangkan semboyan "Smart (Cerdas)–Pious (Berbudi Luhur)–Honourable (Bermartabat)" sebagai platform lembaga.

Membendung Radikalisme di Kampus


Oleh: Wasid Mansyur
Tim Akademik Pusat Ma’had al-Jami’ah UIN Sunan Ampel Surabaya
Di berbagai kampus, baik negeri maupun swasta, hari-hari ini mulai kedatangan mahasiswa Baru dalam rangka agar terdaftar di kampus yang ditentukan sebagaimana terjadi dalam tahun-tahun sebelumnya. Berbagai agenda awal rutinan menanti bagi mereka yang terdaftar, misalnya Orientasi Kemahasiswaan (baca: Ospeks atau Oscar) dalam rangka mengenalkan berbagai aktivitas kampus dari kegiatan kependidikan hingga kegiatan organisasi internal kemahasiswaan.
Kehadiran mahasiswa menjadi petanda bahwa pendidikan tinggi ini masih dipandang salah satu lembaga penting dalam rangka melahirkan kader-kader masa depan sesuai dengan bidang-bidang yang digelutinya, meskipun tidak sedikit di antara anak bangsa itu tidak bisa mengikutinya akibat terjerat problem kemiskinan. Tidak ada harapan dari mereka, kecuali agar mampu memberikan kontribusi bagus bagi keberlangsungan dunia pendidikan di kampusnya masing-masing, sekaligus dari mereka muncul komitmen untuk terus terlibat dalam perbaikan apapun di negeri ini.
Namun, harapan itu mengalami beragam tantangan, khususnya berkaitan dengan perubahan cara berpikir mahasiswa yang berbeda bila dibandingkan ketika masih di tingkat Sekolah Menengah Atas atau Aliyah. Dalam kondisi transisi pola pikir ini, mahasiswa mudah disusupi ideologi radikal oleh kelompok tertentu dengan ragam bentuknya, dari pendekatan personal hingga penyebaran pamflet yang berisi ajakan penegakan Syari’ah Islam dan Khilafah Islamiyah, termasuk menolak sistem demokrasi yang dipandang sesat.
Tak anyal, penulis dalam salah satu kesempatan di Pusat Ma’had Al-Jami’ah UIN Sunan Ampel, melihat keresahan tergambarkan dari para wali mahasiswa agar anak-anak mereka bebas dari segala bentuk radikalisasi. Ketakutan para wali ini cukup beralasan sebab tindakan kelompok radikal dengan nama apapun cukup meresahkan bukan saja dalam konteks keyakinan yang cenderung memaksakan dan memandang yang lain salah, tapi sering kali tindakannya bertentangan dengan spirit nilai-nilai berbangsa yang dibangun di atas pondasi kedamaian dalam perbedaan.
Maka, tidak heran beberapa kampus menjadi incaran, dan tidak sedikit berbagai tindakan radikal dan teror telah melibatkan mahasiswa dari kampus tertentu. Pertanyaannya, siapa yang bertanggungjawab?, padahal kampus adalah arena persemaian terdidik yang mengedepankan tradisi ilmiah, rasional dan pembibitan karakter berkepedulian pada sesama sebagai mana tersirat dalam nilai-nilai Tri Darma Perguruan Tinggi.
Perlunya Smart Movement
Munculnya ajakan jihad yang dilangsir media youtobe oleh kelompok radikal yang tergabung dalam Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) baru-baru ini memantik keprihatinan banyak pihak, apalagi ajakan jihad ini dilakukan oleh pemuda Indonesia. Memang, ISIS adalah gerakan lokal, tapi bila ajakannya dibiarkan tidak mustahil mahasiswa dan pemuda lainnya akan tertarik dengan model gerakannya, yang otomatis akan menjadi bom waktu bagi keutuhan NKRI.
Untuk itu, dalam konteks kampus perlu gerakan cerdas (smart movement) dalam membendung radikalisasi dengan jenis dan nama apapun, termasuk ISIS. Pertama, perlunya terus mengembangkan dan menebarkan nalar teologis yang lebih menyejukkan di kampus, apalagi dalam kampus-kampus umum yang notabenenya nuansa materi keagamaan lebih sedikit dari pada materi umum.
Bisa dibayangkan, bila kampus tidak melakukan filterisasi ideologi radikal atas materi keagamaan yang diajarkan. Setidaknya, pembibitan baru kelompok radikal akan bermunculan, bahkan kampus tertentu akan menjadi sarang radikalisme. Oleh karenanya, munculnya pesantren mahasiswa (ma’had al-Jami’ah) selama ini di berbagai kampus diakui adalah salah satu alternatif dari langkah membendung radikalisme, di samping peran para pengajar dan civitas kampus dalam memberikan keteladanan untuk menyuburkan teologi toleran dan moderat tidak kalah pentingnya.
Sementara kedua, harus ada orientasi jelas dari keorganisasi keagamaan, baik internal maupun eksternal. Artinya, organisasi kemahasiswaan harus semestinya bebas dari paham radikal dan berideologi keindonesiaan sebab mereka termasuk salah satu stakeholder komunitas kampus. Karenanya, sinergitas pimpinan kampus dengan organisasi mahasiswa menjadi penting agar komitmen pimpinan kampus memerangi radikalisme benar-benar direspon secara baik di level mahasiswa.
Dengan begitu, maka perlu kegiatan atau training apapun dilakukan secara masif agar tercipta dalam diri mahasiswa untuk selalu berkreasi dan berinovasi dalam menatap kehidupan, misalnya training kepemimpinan atau kewirausahaan serta kepenulisan. Pasalnya, pandangan sempit yang dialami para mahasiswa tertentu dalam memaknai hidup acap kali membuat mereka tergoda dalam mengambil jalan pintas untuk melakukan perubahan hidup, apalagi dengan “iming-iming” mendapat kebahagian abadi di Surga melalui semangat jihad.
Akhirnya, gerakan cerdas membendung radikalisme ini tidak bisa dilakukan sendiri-sendiri. Harus ada kerja sama semua civitas akademik kampus, sekaligus menjadikan radikalisme sebagai musuh bersama. Dengan cara-cara seperti ini, kita berharap radikalisme betul-betul tidak ada di kampus manapun, lebih-lebih di kampus umum karena memang kita hidup di Indonesia dengan nilai-nilai keragaman yang harus dipertahankan melalui sikap saling menghormati dan terus menyuburkan semangat gotong-royong.

MENGAPA PERLU MORALITAS LUHUR DI KAMPUS?

Wasid Mansyur
Akademik Pusat Ma’had Al-Jami’ah UINSA Surabaya
Drs. Rijalul Faqih, Msi, selaku kabag akademik UIN Sunan Ampel dalam sambutannya ketika pelaksanaan apel pagi pada hari kamis, mengatakan bahwa salah satu alasan mengapa beberapa wali mahasiswa meng-kuliahkan anaknya di UIN Sunan Ampel adalah agar kelak anaknya memiliki moralitas luhur setelah lulus.
Pernyataan salah satu wali mahasiswa itu disampaikan dalam forum pertemuan wali mahasiswa di Audutorium UIN-SA baru-baru ini. Secara prinsip pernyataan ini penting, apalagi diketahui bahwa yang memiliki harapan itu adalah wali mahasiswa yang bekerja sebagai paramedis di salah-satu rumah sakit terkenal di Surabaya. Sekalipun dia larut selama 20 tahun-an dalam dunia kedokteran, tapi hasratnya pada pendidikan moral cukup besar berharap kepada civitas UIN Sunan Ampel sebab moralitas ini –menurut keyakinnya-- kelak yang akan mengantarkan anaknya selamat, bukan hanya dunia dan akhirat (salamatan fi al-dunya wa al-akhirat).
Pernyataan wali mahasiswa ini, mengingatkan pada pendiri Pondok Pesantren Al-Falah Ploso Mojo Kediri, yakni K.H.A. Djazuli Ustman yang dikenal dengan sang Blawong. Dalam buku K.H. A. Djazuli Ustman; Sang Blawong Pewaris Keluhuran (2011) disebutkan Bahwa Mas’ud, sebutan kecil K.H. A. Djazuli Ustman, adalah dikenal memiliki kecerdasan di luar rata-rata bahkan bahasa Belanda dikuasainya dengan baik, termasuk matematika, ilmu ukur dan lain-lain, setelah lulus dari Hollandsch-Inlandsche School (HIS) setingkat SLTA (hal,15).
Tak anyal, ayahnya Pak Ustman yang dikenal sebagai naib –kelas bangsawan ketika itu-- berkeinginan besar mengantarkan Mas’ud menjadi dokter, tidak seperti dirinya sebagai naib. Atas keinginan keras ini, Mas’ud melanjutkan studi di Stovia (UI, sekarang) dalam jurusan kedokteran. Namun, dalam waktu yang singkat, pak Ustman akhirnya harus rela memanggil pulang Mas’ud dan harus dipondokkan, setelah mendapat anjuran Kiai Ma’ruf Kedunglo, salah satu santri Kiai Kholil Bangkalan. Anjuran Kiai Ma’ruf, yang dikenal memiliki ketajaman mata hati (baca: bashirah), direspon oleh Pak Ustman dengan ikhlas tanpa sedikit penyesalan.
Setelah perjalanan waktu, sulit dikira akhirnya prediksi batin Kiai Ma’ruf cukup tepat, Mas’ud yang akhirnya dikenal dengan K.H. A. Djazuli Ustman adalah pendiri dan pengasuh Al-Falah Mojo Kediri, yang saat ini pondok ini terus mengalami perkembangan pesat dan menjadi jujukan santri-santri dari berbagai daerah, dengan jumlah ribuan alumni yang menyebar ke seantaro Indonesia.
Dua cerita ini, secara substansi memiliki kesalamaan, sekalipun dalam cerita yang berbeda. Di satu sisi, anak naib yang kelak akan diproyeksikan menjadi dokter ternyata harus dipondokkan. Di sisi yang berbeda anak paramedis yang menginginkan kelak anaknya memiliki moralitas luhur dalam kehidupannya, sekalipun tidak harus menjadi dokter. Substansi yang dimaksud adalah, sama-sama memahami bahwa moralitas luhur adalah segala-galanya di atas kemampuan intelektual.
Konteks Kampus
Bertolok dari dua cerita ini, sebagai insan kampus keharusan civitas UIN-SA berfikir serius pada pengawalan moralitas luhur mahasiswa UIN-SA adalah kebutuhan yang sulit ditawar-tawar, di samping serius meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam menguasai disiplin keilmuannya sesuai dengan jurusannya masing-masing. Semangat ini sebenarnya telah tersirat dari slogan “Building Character Qualities; for the Smart, Pious, Honorable Nation”, yang terpampang di berbagai media kampus.
Alasan mengapa moralitas luhur itu penting sebab generasi saat ini adalah calon pemimpin di era kedepan. Kondisi kebangsaan kita yang masih mudah goyang, baik dilihat dari sisi ekonomi maupun politik ke depan membutuhkan individu-individu yang tangguh dalam berbagai bidang, setidaknya muncul dari para alumni UIN-SA.
Ketangguhan itu dibarengi dengan moralitas luhur sebagai karakter diri, yakni moralitas yang mampu tidak hanya berpikir untuk diri sendiri tapi juga untuk orang lain sebagai sarana pengabdian kepada sang Khaliq, Allah Swt. pasalnya, moralitas luhur sejatinya adalah manifestasi dari upaya membumikan nilai-nilai ketuhanan (tajalli wa ardiyatu-l-rububiyyah).
Ketika semangat integrasi keilmuan diteriakkan oleh kampus ini --semenjak menjadi UIN-SA-- semakin nyaring, maka menjadikan moralitas luhur masuk dalam materi-materi kemahasiswaan, khususnya mahasiswa yang jurusan umum, menjadi niscaya. Sekalipun belajar teori-teori politik, misalnya dari teori Barat sekalipun, perlu disusupi pikiran bagaimana perlunya membangun politik kemaslahatan dan kebangsaan. Tidak seperti sekarang ini, kita masih menyaksikan politik masih terjebak pada semangat prosedural, dari pada substansi.
Bekal moralitas luhur ini kelak yang akan membentengi mahasiswa, ketika kelak lulus dari UIN-SA baik aktif sebagai akademiki, politisi, dokter, psikolog dan seterusnya. Munculnya, politisi atau dokter yang bermoral luhur, misalnya kelak akan mengangkat citra kampus ini benar-benar menjadi persemaian bagi terciptanya kader bangsa yang memiiliki integritas dan keperibadian.
Inilah secuil pikiran tentang pentingnya moralitas luhur dalam kampus. Sebagai manusia yang beragama kita diajarkan untuk percaya pada sesuatu yang non-materi (baca: ghaib), tidak seperti kepercayaan materialistik-positivistik. Semangat ini harus kita pupuk bersama baik dosen, karyawan hingga mahasiswa, yang riilnya secara akademik bahwa basis keilmuan secara aksiologis tidak melulu berpikir materi, tapi harus juga berpikir non-materi kaitannya karakter tentang kejujuran, keikhlasan dan pengabdian, yang merupakan wujud dari komitmen aman-tu bi-l-lahi wa rasulihi wa yawmi-al-akhiri…. Semoga.

IMPLEMENTASI TQM DI UINSA


Lesson learned fromshortcourse on TQM in Marmara & Istanbul Sehir University Turkey
Oleh : Chairati Saleh, S.Ag., M.Ed
Dosen Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UINSA

Hampir semua perguruan tinggi di Indonesia maupun dunia saling berkompetisi untuk meningkatkan kualitas baik pada aspek manajerial maupun aspek akademik. UIN Sunan Ampel Surabaya yang baru beralih status jelasnya juga melakukan berbagai upaya untuk menjadi Universitas yang berkualitas dan kompetitif. Alhamdulillah beberapa waktu lalu, UIN Sunan Ampel, dalam hal ini dileading sektori oleh  Lembaga Penjaminan Mutu (LPM), berkesempatan untuk melakukan shortcourse ontotal quality management on Higher Education di Marmara University dan Istanbul Sehir University Turkeydari tanggal 18 – 25 Desember 2014 yang didanai oleh  Islamic Development Bank  (IDB).
Shortcourse ini cukup menarik karena dilaksanakan  di kampus Marmara University sebagai the old and the best Faculty of Theology (Agama) di Turkey, sedang pemateri yang dihadirkan merupakan para professor lulusan Eropa dan Amerika yang sangat berkompeten dalam Total Quality Management (TQM). Lebih dari itu, peserta mendapat kesempatan untuk belajar dan melihat langsung sistem pendidikan Tinggi  Islamdi sebuah negara yang penduduknya 99 % beragama islam namun sistem pemerintahannya  sekular. 
Hal ini menarik karena seperti diketahui bahwa UINSA Surbaya telah meneguhkan dirinya sebagai Universitas Islam yang mengintegrasikan Islamic science dan Ilmu lainnya seperti saintek, humaniora, dan social sciences yang kemudian disimbolisasikan dalam bentuk bangunan twintowers. Masalahnya adalah bagaimana pola integrasi agama dan keilmuan lainnya dalam sistem pendidikan Islam di Turkey?
Marmara dan Istanbul Sehir University, merupakan Universitas di Turkey yang mempunyai beberapa fakultas yang menaungi prodi umum dan agama seperti halnya beberapa UIN atau universitas non UIN di Indonesia. Uniknya, meski Turkey secara histroris merupakan  negara penyebar  Islam di Eropa dan pusat kebudayaan Islam di masa kejayaan Turkey Ottoman, tetapi secara fakultatif  tidak mengintegrasikan Islamic Studies dengan Social dan Science.  Misalnya Marmara dan Istanbul Sehir University adalah dua di antara sekian banyak universitas yang mempunyai Fakutas Teologi yang betul-betul terpisah dengan fakultas umum, seperti Fakultas Ekonomi, Kedokteran, Sosial politik dan lain-lain. Bahkan lokasi dari Ilahiyat Fakultesi (Fakultas Agama) Marmara University terpisah jauh dari fakultas-fakultas umum lainnya.
Meski begitu, Marmara University memberi peluang bagi mahasiswa yang berprestasi untuk mengambil double majors pada fakultas lain sebanyak 12 sks sejak semester 3 (tiga) hingga semester 8 (delapan). Misalnya: mahasiswa Fakultas Teologi bisa mengambil mata kuliah mayor pada Fakultas Ekonomi dan sebaliknya. Dengan demikian, setelah menyelesaikan studi mereka memiliki pilihan profesi lain dari profesi pokok yang ada di fakultas asalnya.
Hal ini tentunya berbeda dengan desain UIN Sunan Ampel yang secara fakultatif  mengintegrasikan rumpun keilmuan misalnya Tarbiyah dan Keguruan, Dakwah dan Komunikasi, Ushuluddin dan Filsafat, Ekonomi dan Bisnis Islam, Syariah dan Hukum dan sebagainya. Namun demikian mereka tetap melakukan integrasi keilmuan dalam konteks manhaj al-fikr (metodologi berfikir) yang didesain dalam kurikulum pendidikan. Misalnya di Istanbul Sehir University mereka mempunyai core curriculum programs atau di Indonesia adalah MPK  diantaranyaadalah critical thinking, mathematical reasoning, understanding social and culture, understanding science and technology, textual analysis : effective communication and academic writing dll. Semua matakuliah di atas diajarkan disemua fakultas termasuk Fakultas Teologi atau Agama. Secara implementatif para mahasiswa teologiakan menerapkan atau menggunakan perangkat berfikir tersebut untuk menganalisis dan mengerjakan tugas Islamic Sciences. Namun demikian, para mahasiswa di fakultas umum tidak mendapatkan matakuliah keagamaan, bahkan di hampir seluruh universitas di Turkey tidak mengajarkan Islamic studies di Fakultas umum. Ringkasnya, integrasi hanya dilakukan pada kurikulum Fakultas Teologi saja.
Hal ini jika diamati secara lebih detail, memang ada perbedaan social dan political background  antara Turkey dan Indonesia. Turkey meneguhkan sebagai negara sekuler sementara Indonesia  menggunakan ideologi Pancasila yang mengakomodir agama dalam sistem kenegaraan. Sehingga, perguruan tinggi di Turkey hanya berada dibawah kementerian pendidikan sementara di Indonesia pendidikan tinggi berada di bawah dua payung kementerian yaitu Kementerian Agama dan Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi. Dari sini, melakukan integrasi keilmuan agama, sains, dan teknologi bagi pendidikan tinggi di Turkey,  tidak cukup memungkinkan  jika dilihat dari konteks hytorical block nya.
Syukur alhamdulillah, payung hukum pendidikan Indonesia memberikan keleluasaan bagi Perguruan Tinggi Agama (Islam) untuk melakukan pengintegrasian baik secara fakultatif maupun keilmuan antara Islamic Studies dan keilmuan umum baik dengan pola multidiscipliner, interdiscipliner maupun transdiscipliner. Sehingga hal ini menjadi sebuah ekselensi dan distingsi dari pendidikan tinggi di Indonesia yang berbeda dengan perguruan tinggi di negara lain. Setidaknya dalam pemahaman saya, keunikan dan distingsi ini akan memberikan benefit yang cukup besar bagi masyarakat khususnya lulusan PTAIN dan PTAIS  dalam menghadapi kehidupan global dan modern yang serba atomistik. (baca Atomisasi : Dominic S, 2004), diantaranya adalah spiritualisasi kehidupan dan keilmuan modern yang serba positivistic, eliminasi dikotomi sains dan agama, dan sebagai domain pentradisian  nilai-nilai Islam Indonesia rahmatan lil alamin.
Namun demikian apapun desain akademik yang ada di Turkey dan yang ada di negeri  ini, itu adalah sebuah pilihan yang didasari oleh argumen sosial, politik, dan sejarah yang berbeda. Hal penting yang harus dipahami adalah masing-masing perguruan tinggi harus mempertahankan kualitas sesuai dengan standar yang telah disepakati baik secara internal  masing-masing perguruan tinggi maupun standar kualitas nasional dan internasional. Masalahnya adalah bagaimana strategi untuk mencapai, meningkatkan, dan mempertahan kualitas tersebut.
Menurut American Society for Quality bahwa kualitas institusi dapat dilihat dari tiga hal yaitu: perkembangan yang berkelanjutan (continuous improvement), adanya peningkatan leadership serta peningkatan kerjasama atau partnership. Hal ini  dapat dilakukan melalui peningkatan standar mutu yang dikelola dengan empat perangkat manajemen yaitu plan, do, act, and check (Deming Cycle). Standar mutu yang pertama harus terkonsolidasikan dengan standar mutu yang kedua dan seterusnya dan selalu linier dengan perangkat Deming Cycle tersebut.
Deming Cycle ini cukup bagus untuk dijadikan acuan untuk melakukan Total Quality Managementdi UINSA Surabaya, baik untuk mengukur perkembangan implementasi standar internal, nasional maupun internasional. Untuk standar internal, seperti  diketahui bahwa UINSA Surabayamempunyai desain akademik khas integrated twin towers  yang semestinya sudah memiliki standar capaian dalam pengimplementasiannya. Misalnya,  kualitas capaian desain akademik 6 (enam) sertifikat kompetensi tambahan  yang ada di UINSA Surabayaharus menunjukkan continous improvement yang linier denganplan, do, act, and check secara terukur dan berkala. Lihat gambar di bawah ini :


Demikian  pula dalam melakukan TQM terhadap implementasi  standar nasional, dimana UINSA Surabayasudah mengadaptasi standar nasional yang dimiliki oleh KKNI dan BAN-PT.  Pula dalam melakukan TQM untuk  mencapai kualitas perguruan tinggi internasional yang  telah ditentukan dalam banyak standar seperti  Time Higher Eduation (THE) University Rankings,  Asian University Network (AUN), QS University Rangking, Webometrics, ICU dll. 
Dengan demikian UINSA Surabaya ke depan diharapkan akan menjadi Universitas Islam yang berciri khas integrasi keilmuan dengan model integrated twin towers, serta unggul dan kompetitif baik dalam skala nasional maupun internasional.

MERENUNGI ORASI PENGUKUHAN GURU BESAR DI UINSA


Oleh: Muhamad Ahsan, Dosen FEBI UINSA Surabaya
Ketika menghadiri pidato pengukuhan guru besar Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI) Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UIN SA) Surabaya pada 11 Maret 2015 yang lalu, saya menemukan sesuatu yang baru dalam pandangan saya pribadi. Peserta yang hadir mendapatkan sebuah buku  sebagai ‘penghargaan’ atas kehadiran dalam perhelatan pengukuhan. Diawal-awal buku tersebut, digambarkan bagaimana perjuangan Bapak Dekan FEBI dengan lika-likunya hingga dikukuhkan menjadi guru besar. Sebuah perjuangan yang berat dan tidak semua orang dapat melaluinya tanpa bekal iman dan kesabaran.  Bacaan terhenti sejenak ketika menemukan kalimat “menjadi guru besar jangan terburu-buru”.
Merenungi kalimat tersebut telah membuat benak berdiskusi dengan diri sendiri. Apa setiap insan akademik yang berprofesi sebagai  dosen tidak memiliki keinginan menjadi guru besar? Guru besar itu kan puncak karir seorang tenaga pengajar atau dosen. Iya...ya... hukum alam telah mengajarkan  bahwa yang berada di puncak itu seperti gambaran piramida, sedikit. Hanya yang mampu bertahan dan menyesuaikan diri dengan perubahan yang dapat menggapainya.
Merenungi isi buku yang dihadiahkan kepada peserta  telah  menggelitik pemikiran secara spontan bahwa yang harus dibenahi dari seorang guru untuk melahirkan anak didik yang berkarakter itu .... kira-kira apa? Ditengah arus globalisasi saat ini, fenomena yang tampak adalah kebingungan-kebingungan. Kita ini mau kemana. Syukur masih ditemukan dalam isi buku ‘instrumentasi nilai dalam pembelajaran, perspektif sosiologi pendidikan berkarakter’ yang mengangkat nilai-nilai lokal keagamaan yang seharusnya tetap dijaga.
Benak hadirin menjadi lebih cair ketika video yang ditayangkan memberikan pesan bahwa instrumentasi itu menjadi penting  dalam proses pembelajaran. Menanamkan nilai-nilai akan menjadi lebih mudah dicerna melalui kreativitas menciptakan syair lagu yang sederhana dan mudah diingat sebagai cara (instrumen) penularan dalam menjaga tradisi nilai-nilai aswaja NU. Itulah kira-kira pesan lagu Syi’iran NU yang ada di buku tersebut.
Ada lagi yang menarik pada saat acara pengukuhan guru besar tersebut, mantan rektor IAIN Sunan Ampel (dahulu sebelum menjadi UIN SA) didaulat untuk menyampaikan orasi ilmiah. Prof. Dr. Nur Syam,M.Si. entah berseloroh atau bercanda menyampaikan, ‘beliau tidak akan berorasi ilmiah karena sudah lupa dengan ilmu sosiologinya sebab tugasnya saat ini lebiih banyak mengurusi tumpukan dokumen-dokumen sebagai pejabat tinggi di kementerian’. Hadirin tertawa.
Pesan yang beliau sampaikan sederhana, India yang mayoritas Hindu itu ikon pariwisatanya justru Islam. Taj Mahal  sebagai ikon pariwisata di India itu berkaitan dengan serial film televisi yang sedang marak di Indonesia, Jodha Akbar. Hadirin tertawa lagi. Sebaliknya Indonesia yang mayoritas Islam ikon pariwisatanya justru Budha dengan Candi Borobudurnya. Bla...bla...bla... Orasi yang sederhana tersebut telah menyiratkan pesan jangan melupakan nilai-nilai yang telah diajarkan oleh para pendahulu kita melalui ikon pariwisatanya.
Tulisan yang pernah dimuat di kolom UIN SA pada tanggal 6 Maret 2015 perlu untuk direnungkan. Tulisan tersebut ditulis oleh salah seorang dosen di UIN SA.  ‘Redefenisi dosen pejabat struktural’, demikian judul tulisan tersebut. Inti dari tulisan tersebut ingin menyampaikan pesan bahwa tugas utama dosen tidak boleh dikebiri dan dikalahkan oleh tugas tambahan karena telah menyalahi kodrat profesi  dosen yang dapat membunuh kreativitas dosen secara perlahan.
Dapat dimaklumi bahwa mempersiapkan bahan ajar untuk sebuah perkuliahan seperti pesan yang disampaikan pada tulisan ‘redefenisi dosen pejabat struktural’ tidaklah mudah. Apalagi bila dosen dituntut untuk berkreasi dengan menggunakan instrumen-instrumen yang memudahkan peserta belajar untuk memahaminya, seperti isi pesan pidato pengukuhan. Belum lagi ditambah dengan persiapan meng up date materi yang disesuaikan dengan perkembangan terkini. Kapan waktu membacanya bila waktu telah disita dan energi telah dihabiskan oleh tumpukan dokumen-dokumen yang sangat administratif. Tulisan ‘redefenisi dosen pejabat struktural’ tersebut telah diperkuat oleh orasi Prof. Dr. Nur Syam, M.Si. dalam acara pengukuhan guru besar hari itu.
Perlu direnungkan bisa jadi hal ini  memiliki korelasi dengan kalimat ‘jadi guru besar jangan terburu-buru’. Tulisan ini ingin mengajak pembaca merenungi lompatan-lompatan pemikiran  yang disampaikan agar dapat menyimpulkan sendiri maknanya. Perlu direnungkan, apakah tidak sah menjadi guru besar diusia muda? Hal tersebut telah dipatahkan oleh Bapak Dekan FEBI (Akh. Muzakki) yang dikukuhkan menjadi guru besar pada usia 40 tahun. Tentu semua insan akademik mengetahui bahwa untuk menjadi guru besar itu harus memiliki karya-karya ilmiah yang memiliki reputasi.
Terlintas dalam fikiran untuk merenungi lebih dalam makna tulisan ‘redefenisi dosen pejabat struktural’. Juga berusaha memahami apa yang diinginkan oleh penulisnya. Bisa jadi teman seprofesi tersebut juga menginginkan mencapai puncak karir tertinggi profesi dosen sebagai guru besar  diusia muda. Tentu hal ini akan menjadi iklim yang positif dan perlu menjadi bahan pemikiran  bagi petinggi di UIN SA. Seperti, kalimat yang tertulis di depan kantor gedung rektorat itu ‘khoirunnas anfa’uhum linnas’ dalam konteks profesi dosen karena banyak sejawat yang mengenal penulisnya memang memiliki potensi untuk menjadi guru besar di usia muda.

Remunerasi Berkeadilan: Pathway Pewujudan Visi UINSA (1)

UINSA Menuju Remunerasi (Bag.1)
Oleh: Dr. Hj. Zumrotul Mukaffah, M. Ag.
Wakil Rektor II
Salah satu perkembangan yang membanggakan dari manajemen penganggaran di dunia perguruan tinggi belakangan ini adalah munculnya model manajemen penganggaran berbasis kinerja. Sebuah  model yang lebih diorientasikan pada   output ketimbang input   dan   proses saja; sebuah model yang diorientasikan pada produktivitas kerja yang berujung pada peningkatan   pelayanan kepada costumer  dan terwujudnya layanan prima.
Produk dari model manajemen penganggaran kontemporer ini, dikenal dengan istilah  sistem remunerasi. Dalam sistem remunerasi ini karyawan selalu didorong untuk mengembangkan pengetahuan, keterampilan dan sikap kerja maupun kepribadiannya. Dengannya terjadi optimalisasi pendayagunaan sumber daya secara efektif, efisien dan produktif guna mencapai tujuan institusi atau perguruan tinggi.  Model baru manajemen penganggaran ini direspon positif oleh pihak Kementerian Agama RI untuk meningkatkan mutu Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN).
Seturut dengan itu, di penghujung tahun 2013, Bagian Keuangan Direktorat Jenderal Pendidikan Islam menggelar pertemuan dengan para Pengelola keuangan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN),  mulai Wakil Rektor, Kepala Biro, Bagian Perencanaan, Bagian Keuangan, Kasubbag, hingga Bendahara Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) yang berstatus Badan Layanan Umum, se-Indonesia. Mereka kemudian menggagas implementasi remunerasi di lingkungan PTKIN yang berstatus BLU dengan exemplar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sebagai Satker yang memang telah memberlakukan sistem remunerasi.  
Sejak saat itu, UIN Sunan Ampel (UINSA) bergegas untuk mempersiapkan segala dokumen persyaratan pengajuan remunerasi yang harus dimiliki oleh Satker BLU, seperti Rencana Strategi Bisnis (RSB), Standar Pelayanan Minimum (SPM), Standar Biaya Keluaran (SBK), hingga Standar Biaya Masukan (SBM) dalam bentuk Tarif Layanan.
Rencana Strategi Bisnis (RSB) 2014-2019  pun kelar disusun di akhir tahun  2013, dan disempurnakan pada awal tahun 2014. RSB ini yang selanjutnya dipedomani oleh seluruh Pimpinan, Pelaksana Akademik, Pelaksana Administrasi, Pelaksana Lembaga dan unit Pelaksana Teknis di UIN Sunan Ampel dalam merumuskan Rencana Bisnis dan Anggaran (RBA) dan Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) UIN Sunan Ampel yang disusun setiap tahun.  Standar  Pelayanan Minimum (SPM) telah dimiliki oleh UIN Sunan Ampel sejak tahun 2009 sebelum diusulkannya UIN sebagai BLU. Namun dengan adanya perubahan status IAIN Sunan Ampel menjadi UIN Sunan Ampel, maka SPM UINSA saat ini sedang dalam  proses penyempurnaan  menyesuaikan perubahan nomenklatur bersama-sama dengan perubahan nomenklatur status Badan Layan IAIN menjadi Badan Layanan Umum Universitas.
Standar Biaya Keluaran yang semula akan diusulkan  secara mandiri oleh UINSA, akhirnya diusulkan secara bersama oleh seluruh PTKIN melalui forum Wakil Rektor/Ketua bidang AUPK dan forum Perencanaan PTKIN yang secara kebetulan sedang mengusulkan SBK. Forum ini yang akhirnya melahirkan Standar Biaya Keluaran yang berlaku di PTKIN Kementerian Agama dengan  nomor: S-39/MK.02/2015. S-39.  SBK ini kemudian menjadi pedoman para pengelola PTKIN dalam menetapkan satuan biaya yang akan dikeluarkan mulai dari dokumen perencanaan hingga pelaporan keuangan, disamping yang telah ditetapkan dalam Standar Biaya Umum yang dikeluarkan oleh Kementerian Keuangan dalam setiap tahunnya.
Sedangkan Tarif Layanan UIN  Sunan Ampel yang proses penyusunan proposalnya dimulai di tahun 2014, selanjutnya diusulkan ke Kementerian Agama untuk dilanjutkan usulannya  ke Kementerian Keuangan, ditetapkan oleh Kementerian Keuangan dalam bentuk Peraturan  Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor: 67/PMK.05/2015 tentang Tarif Layanan Badan Layanan Umum Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya pada Kementerian Agama. PMK Tarif ini menjadi  pedoman seluruh Pimpinan, Pelaksana Akademik, Pelaksana Administrasi, Pelaksana Lembaga dan unit Pelaksana Teknis di UIN Sunan Ampel dalam menggali sumber-sumber pendapatan negara bukan pajak (PNBP), baik yang bersumber dari masyarakat, hasil usaha bisnis UINSA, hasil kerjasama, maupun pendapatan lainnya yang dapat dibenarkan oleh peraturan perundangan yang berlaku.
Selain persiapan dokumen di atas, perubahan status Institut menjadi Universitas Sunan Ampel juga menuntut adanya perubahan dari dari sisi kelembagaan. Perubahan ini terurai di PMA nomor: 8 tahun 2014 tentang Organisasi dan tata Kerja (Ortaker) UIN Sunan Ampel. Jumlah fakultas semula lima (5) menjadi sembilan (9), Lembaga semula satu menjadi ada dua (2), Lembaga Penjaminan Mutu (LPM) dan Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM), juga Satuan Pemeriksa Intern (SPI), UPT yang semula tiga (3) menjadi tujuh (7).
Alhamdulillah, dengan semangat dan kerja keras dokumen-dokumen yang dibutuhkan sebagai syarat  pengajuan sistem remunerasi UINSA telah siap di tahun 2014. Selanjutnya UINSA dihadapkan pada  sebuah pekerjaan  maha besar yang membutuhkan energi luar biasa yaitu persiapan UINSA menyambut Remunerasi sebagai salah satu pathway untuk mencapai cita-cita Universitas “menjadi universitas unggul, kompetitif, dan bertaraf internasional”.
Remunerasi sebagaimana disebutkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 10/PMK.02/2006 tentang Pedoman Penetapan Remunerasi, merupakan imbalan kerja yang dapat berupa gaji, honorarium, tunjangan tetap, insentif, bonus atas prestasi, pesangon, dan /atau pensiun. Remunerasi diberikan dalam rangka meningkatkan kinerja lembaga yang telah terurai dalam Rencana Strategi Bisnis (RSB), dijabarkan setiap tahunnya dalam Rencana Kerja Tahunan (RKT) dalam bentuk RBA-RKA, diterjemahkan oleh masing-masing pegawai dalam Sasaran Kinerja Pegawai (SKP) dan pelaksanaannya tergambar dalam Laporan Kerja Harian (LKH).
Remunerasi di UINSA, sebagaimana kebijakan Rektor, Prof. Dr. Abd. A’la, M.Ag dalam arahannya kepada Tim Penyusun Proposal Remunerasi, dirancang untuk mengembangkan sistem kesejahteraan yang berkeadilan dan keadilan yang mensejahterakan. Yang dimaksud dengan kesejahteraan yang berkeadilan adalah remunerasi diberikan secara proporsional sesuai dengan capaian kinerja dengan mempertimbangkan pangkat, jabatan, tugas, fungsi dan resiko dalam struktur dan tata kerja organisasi UINSA.  Dengan pola seperti ini diharapkan dapat membangkitkan semangat kerja Aparatur Sipil Negara (ASN), dan berdampak pada peningkatan kinerja lembaga, sehingga sumber-sumber pendapatan UINSA semakin bertambah, dan pada akhirnya mampu mensejahterakan semua warga kampus.
Berbeda dengan Tunjangan Kinerja yang tidak berlaku untuk pegawai yang berfungsi sebagai dosen dengan tugas tambahan, tugas khusus dan fungsional dosen, Rektor UINSA mengambil kebijakan agar remunerasi dapat berlaku untuk semuanya, yang diamini oleh para Wakil Rektor bidang AUPK di 15 PTKIN PKBLU untuk selanjutnya menjadi kebijakan para Rektor. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi kesenjangan kesejahteraan antar unsur ASN dalam PTKIN PPKBLU, sehingga setiap unsur ASN baik pendidik dan tenaga kependidikannya, dapat bersinergi, seiring seirama dalam  menjalankan tugas fungsinya menuju Visi UINSA. Rektor juga memberikan arahan agar, remunerasi yang diusulkan kepada kementerian Keuangan melalui Kementerian Agama besarannya minimal sama dengan Tunjangan Kinerja yang selama ini telah diterimakan kepada para pejabat fungsional umum, eselon II, III, dan IV, serta pejabat fungsional tertentu, sehinggga tidak mengurangi semangat kerja para ASN di UINSA.
Remunerasi dengan prinsip  “kesejahteraan yang berkeadilan”  ini diharapkan mampu menjadi motivasi kepada semua ASN di UINSA khususnya, untuk memberikan layanan prima  kepada seluruh stake holders dan mempersembahkan visi UINSA pada bangsa dan negara.

Layanan Prima Ibadah Umroh “UINSA Tour and Travel”


Oleh : Dr Hj. Zumrotul Mukaffa, M.Ag
Wakil Rektor II UINSA Surabaya

Al-hamdulillaaah......., berada di tengah-tengah jama'ah umroh plus yang begitu mempercayai UIN Sunan Ampel, sungguh membanggakan. Kebanggaan pertama, karena menurut mereka seberapapun  benefit yg diperoleh oleh UINSA Tour and Travel akan kembali ke UINSA dan itu berarti untuk kepentingan pengembangan Pendidikan Tinggi Islam yg darinya diharapkan lahir para ilmuwan muslim semacam Ibnu Sina, al-Jabar, Ibnu Rusy, al-Gazali, dan seterusnya. Juga ulama' besar semisal Nawawi al-Bantani, Yusuf al-Makassari, Yasin al-Fadani dan sebagainya. Terlebih ketika berada di pesawat dari Jakarta menuju Jeddah dan bertemu dengan beberapa rombongan KBIH lain dari Makasar, Semarang, dan sebaginya.
Mereka pun kemudian saling bertanya berapa yang mereka keluarkan dengan berbagai variasi layanan yangg diberikan oleh masing-masing, ternyata UINSA Tour and Travel relatif lebih murah dengan layanannya lebih banyak variasinya dan lebih baik, dengan hotel yang berada tepat di pelataran masjid Nabawi. Manajemen layanan yang sangat koordinatif, masing-masing petugas mulai dari di bandara Juanda Surabaya, Sukarno Hatta di Jakarta, King Abdul  Aziz di Jeddah hingga sampai tanah haram Rasulullah SAW., terorganisir dengan rapi. Transportasi lokal yang nyaman, makanan khas Indonesia berpadu dengan Arab yang tidak membuat lidah dan perut para jama'ah shock.
Ungkapan dari salah jama'ah yang membuat kami merasa sangat bangga memiliki UINSA Tour and Travel adalah "ya Allaah....Saya merinding rasanya....karena beberapa kali Umroh (hampir setiap Ramadlan) sekarang ini paling dekat hotelnya dengan masjid".
Kebanggaan yg kedua, ketika mendarat di bandara King Abdul Aziz, ketika "Garuda Airlines" parkir berjajar dengan Airlines milik berbagai negara besar dunia, dan nampak begitu gagah dan bersahajanya "Garuda-ku". Sebagai bangsa Indonesia, tentu ini sangat membanggakan.
Kami sangat bangga terbang bersama Garuda, karena seberapa pun mahalnya rupiah yg harus kami keluarkan, pasti manfaat terbesarnya akan kembali ke bangsa dan negara Indonesia, yang bisa dipastikan sebagian besarnya juga untuk kepentingan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia.
Jika kami terbang dengan maskapai lain, tentu manfaat terbesarnya akan kembali ke negara dan bangsa pemilik maskapai tersebut. Apalagi jika harganya lebih murah, pasti harusnya Garuda menjadi pilihan utama. Terlebih di saat kita menghadapi MEA maka mencintai dan bangga akan milik Indonesia adalah sebuah keniscayaan untuk memperkuat modal utama bangsa Indonesia.
UINSA Tour and Travel ini lahir atas kerjasama UIN Sunan Ampel dengan Arie Tour and Travel, dan setelah satu tahun UIN Sunan Ampel bekerja sama dengan Garuda Indonesia Airlines dan telah dirasakan manfaatnya, terutama terkait dengan penghematan biaya perjalanan dinas, dan kemudahan mengatur jadual penerbangan, apalagi dalam kondisi yang sangat mendesak.

Pengembangan ABCD di UINSA

Pengembangan ABCD di UINSA: Refleksi Pelatihan Bersama Dee Brooks
Nadhir Salahuddin, MA
Dosen  FDK & PIU SILE, UINSA Surabaya
                Perguruan tinggi sebagai lembaga pendidikan memiliki peran yang sangat penting bagi kemajuan masyarakat. Melalui tridharma perguruan tinggi menyumbangkan bagaimana kemajuan masyarakat dapat dicapai. Peningkatan peran perguruan tinggi untuk kepentingan masyarakat diupayakan melalui penguatan Tridharma tersebut. Salah satu yang dilakukan adalah dengan memanfaatkan berbagai pendekatan baru yang dianggap lebih tepat secara kontekstual. Dalam beberapa tahun terakhir, UIN Sunan Ampel Surabaya atas dukungan Supporting Islamic Leadership in Indonesia (SILE) telah mengujicobakan pendekatan dalam kegiatan pengabdian masyarakat, yaitu menggunakan asset-based community development (ABCD).
Uji coba ABCD untuk Kuliah Kerja Nyata (KKN) telah memasuki tahun kedua. Sementara itu mata kuliah ABCD juga telag masuk ke dalam kurikuluum program studi Pengembangan Masyarakat Islam (PMI). Beberapa skripsi juga telah menggunakan pendekatan ini untuk upaya pengembangan masyarakat yang dilaksanakan mahasiswa program studi PMI. Berbagai inisiatif pemanfaatan ABCD untuk berbagai kegiatan ini memerlukan dukungan agar terjadi penguatan. Kegiatan mengundang Dee Brooks, selaku direktur Jeder Institute dan Koordinator Jaringan ABCD Asia Pacific adalah dalam kerangka tersebut.
Pelatihan yang dilaksanakan selama lima hari tersebut mencakup setidaknya empat bidang. Pertama, diskusi mengenai bagaimana kebijakan dan program yang dapat mendukung terselenggaranya atau berkembangnya ABCD di UINSA, termasuk juga bagaimana keinginan UINSA menjadi perguruan tinggi yang memberikan inspirasi dan melayani kebutuhan perguruan tinggi atau lembaga lain dalam upaya-upaya berkaitan dengan pengembangan masyarakat maupun pengabdian masyarakat. Diskusi mengenai bagaimana ABCD sebagai sebuah pendekatan dapat diaplikasi lebih luas lagi adalah melalui diseminasi hasil-hasil praktek ABCD yang sudah dilakukan, baik di tingkat KKN maupun sampai pada program studi. Termasuk bagaimana buku pedoman KKN ABCD agar dapat disempurnakan agar lebih aplikatif pada konteks kegiatan selain ABCD juga merupakan kebutuhan agar UINSA siap menyediakan berbagai macam sumber kepada lembaga lainnya. Kesemua ini dimungkinkan dapat diwujudkan tatkala UIN Sunan Ampel memiliki ABCD center. Sebagai sebuah pusat yang tidak saja menyediakan sumber daya bagi aplikasi ABCD di lingkungan UIN Sunan Ampel, tetapi juga keluar lingkungan UINSA melalui ragam pola diseminasi dan publikasi.
Diskusi soal kebijaan juga menyinggung bagaimana ABCD dapat mewarnai pola pengabdian secara lebih luas. Tidak saja hanya diaplikasi untuk KKN saja, namun dapat diaplikasi pada bagaimana fungsi pembelajaran, penelitian serta pengabdian UIN Sunan Ampel. Kerangka berfikirnya adalah ketika UIN Sunan Ampel dapat memetakan segala aset, potensi dan kekuatan yang dimiliki lalu kemudian dihubungkan dengan aset dan kekuatan yang ada pada masyarakat, maka sesugguhnya yang terjadi adalah kegiatan yang saling menguatkan. Hal ini sejalan dengan renstra (rencana strategis) kemitraan univeritas dengan masyarakat yang dilandasi oleh visi terciptanya sebuah hubungan yang dekat dan saling memberikan manfaat antara perguruan tinggi dengan masyarakat.
Prof Abd A’la, M.Ag, Rektor UINSA dalam sambutan juga menegaskan bahwa pentingnya perguruan tinggi untuk peka dalam memberikan pengabdian kepada masyarakat. Berbagai upaya dalam menerapkan pola pendekatan dan metodologi yang dianggap tepat sangat penting dan harus didukung. UIN Sunan Ampel memandang bahwa pengabdian kepada masyarakat merupakan upaya meningkatkan kapasitas warga masyarakat untuk mampu menghadapai berbagai tantangan dalam kehidupannya. Perguruan tinggi memiliki peran yang sangat penting dalam hal ini. Perguruan tinggi selayaknya dapat membuka diri untuk lebih aktif meihat berbagai fenomena sosial dihadapannya. Kejadian di Tolikara yang menjadi perhatian merupakan keprihatinan yang membutuhkan peran perguruan tinggi dalam menyelesaikannya. STAIN di sana menjadi lembaga yang beperan sangat penting, dan UIN Sunan Ampel Surabaya dapat berperan melalui STAIN tersebut dengan memperkenalkan pendekatan ABCD yang sangat berorientasi kepada kemampuan masyarakat.
Wilayah diskusi kedua adalah menyangkut manajemen atau pengelolaan. Bagaimanapun juga suatu program kerja yang baik tanpa ada dukungan kemampuan manajerial pengelolaan yang baik pula maka tentunya hasil yang diharapkan juga tidak akan dapat optimal. Diskusi banyak memasuki wilayah bagaimana pengelolan KKN yang lebih berdampak lebih lagi. Hal paling menarik dalam diskusi tersebut adalah mulai hangat dibicarakan bahwa kegiatan KKN tidak hanya untuk kepentingan mahasiswa melakukan pengabdian dan menggungurkan kewajiban saja. Tetapi merupakan sarana bagaimana perguruan tinggi dapat berbuat yang benar-benar dapat dirasakan nilai kemanfaatan kepada masyarakat. Banyak sekali gagasan-gagasan segar yang muncul dalam diskusi ini. Misalnya peluang dilaksanakan KKN yang dikelola oleh tingkat fakultas. Dasar pemikirannya adalah karena KKN merupakan kegiatan pembelajaran sehingga harus kuat disain pembelajaran yang terkandung didalamnya. Untuk memastikan bagaimana kegiatan pembelajaran, maka peran fakultas melalui wakil dekan bidang akademik sangat diperlukan. Kegiatan pengabdian dipahami akan semakin membawa dampak yang lebih baik di masyarakat, ketika dilaksanakan dengan muatan keilmuan sesuai yang dipelajari oleh mahasiswa. Ide ini dimatangkan oleh meja dimana yang berkumpul adalah para pimpinan fakultas.  Semangat untuk bagaimana agar KKN dapat lebih optimal lagi memang harus dibicarakan lebih serius. Mengingat kegiatan ini juga sarat akan tantangan-tantangan yang seringkali persoalanya adalah teknis. Hal ini banyak diungkapkan oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM, terutama oleh PPM (Pusat Pengabdian kepada Masyarakat). LPPM sendiri menegaskan bahwa kedepan kegiatan KKN akan diupayakan ditawarkan tidak hanya setahun sekali, mengingat untuk mengakomodir kepentingan jadwal perkuliahan mahasiswa, serta kepentingan administrasi di kabupaten. Selain itu KKN juga nanti akan dilaksanakan secara tematik dan dicoba untuk masuk pada wilayah-wilayah tertentu yang selama ini belum pernah terkena pelaksanaan KKN tersebut. Manajemen KKN juga menjadi perhatian dalam kerangka tahapan kerja sebelum pelaksanaan, saat dilaksanakan dan setelah dilaksanakan.
Narasumber juga memberikan contoh implementasi ABCD dalam konteks masyarakat Australia. Dee Brooks yang juga bagian dari Family Action Program di Universitas Newcastle Australia ini memberikan contoh bagaimana kegiatan pendampingan dia kepada keluarga yang tinggal di Karavan. Kegiatan ini menggunakan pendekatan ABCD dan merupakan kegiatan pengabdian serta penelitian secara terintegrasi. Ini merupakan disain integrasi diharapkan dapat memberikan inspirasi kepada UIN Sunan Ampel Surabaya untuk dikembangkan sebagaimana sesuai dengan rencana pengembangan UIN Sunan Ampel Surabaya yang tertuang dalam rencana strategis bisnis.
Cakupan pelatihan yang lebih mendalam masuk pada penggunaan berbagai alat maupun teknik dalam melaksanakan pengembangan masyarakat, Misalnya appreciative inquiry sebagai sebuah alat untuk membangkitkan kesadaran masyarakat bahwa selama ini mereka kurang memanfaatkan apa-apa yang mereka punyai dan kekuatan yang ada. Metode pengungkapan dan pemberian penghargaan atas kemampuan dana pa yang dipunyai masyarakat menjadi sebuah teknik penyadaran masyarakat atas aset yang mereka miliki. Diskusi-diskusi soal bagaimana merumuskan pertanyaan yang dapat membangkitkan, memberikan inspirasi dan menggerakkan orang masuk pada wilayah pelatihan. Narasumber tidak hanya memberikan contoh pertanyaan, melainkan peserta diberi kesempatan untuk merumuskan pertanyaan dan mendiskusikannya di kelas. Peluang ini memberikan kesempatan kepada kesemua peserta pelatihan untuk mendapatkan pengalaman betapa pentingnya membentuk sebuah pertanyaan. Kemampuan peserta dalam membuat pertanyaan terasah karena dalam pelatihan ini juga dilaksanakan dengan praktek secara langsung. Tidak hanya bagi peserta dari kalangan UIN Sunan Ampel yang terdiri dari para pimpinan fakultas, LPPM, tetapi sampai kepada tim pembimbing KKN ABCD. Bagi pembimbing KKN ABCD kegiatan ini sangat membantu mengasah ketrampilan mereka, dan berharap dapat memberikan arahan kegiatan ABCD yang lebih tepat. Lebih-lebih lagi bagi pokja yang juga hadir perwakilan mereka beserta wakil komunitas dampingan.
Selain teknik membuat pertanyaan dalam appreciative inquiry, peserta pelatihan juga mendapatkan berbagai teknik lain seperti learning conversation, lalu bagaimana menghubungkan antara aset individu, komunitas dan organisasi, serta mencoba mereleksikan bagaimana di konteks masyarakat Indonesia, maupun praktek pokja. Peserta juga banyak berbagi bagaimana tantangan yang mereka hadapi ketika mencoba mengungkapkan kebaikan yang ada di masyarakat Misalnya, ketika masyarakat selalu mengajak orang luar melihat kebutuhan dan kekurangan yang ada dalam dirinya.
Pokja sendiri sebagai kelompok masyarakat yang sedang dalam kegiatan pengembangan masyarakat sangat antusias mencoba mendiskusikan bagaimana aplikasi teknik sesuai dengan konteks yang sedang mereka hadapi. Salah seorang wakil komunitas mencoba mendikusikan bagaimana tantangan masyarakat ketika kebutuhan dasar mereka soal air tidak dapat dipenuhi oleh pemerintah setempat. Pertanyaan adalah bagaimana menghadapi situasi seperti ini?. Perwakilan masyarakat tersebut juga menjelaskan bagaimana terjadi kejadian alam yang membuat ketersediaan air dan penyalurannya menjadi terganggu di desanya. Masyarakat tentu berharap adanya bantuan dari luar dalam menghadapi persoalan ini. Untuk merespon hal ini, Dee Brooks malah menantang peserta untuk dapat merumuskan bagaimana aplikasi appreciative inquiry dalam konteks kehidupan masyarakat dimana kebutuhan dasar mereka tidak dipenuhi. Sangat menarik adalah bahwa narasumber menegaskan pentingnya masyarakat memiliki kemampuan untuk mengidentifikasikan aset dan kekuatan yang mereka punyai untuk memperjuangkan apa yang seharusnya mereka dapatkan. Jadi wilayah masyarakat menjadi seorang warga negara yang aktif jelas tersoroti sebagai bagian dari focus proyek sile dalam diskusi ini.
Wilayah diskusi keempat yang juga tidak kalah hangat didiskusikan adalah bagaimana ABCD di UIN Sunan Ampel Surabaya dapat dipastikan keberlangsungannya. Tentu yang dimaksudkan adalah ABCD sebagai sebuah prinsip dan pendekatan umum dari upaya pengembangan masyarakat. Bukan sebagai instrument, alat, metode atau teknik yang sifat sangat teknis saja. Pada umumnya peserta banyak mengusulkan adanya sebuah pusat khusus yang menangani ini. Melalui pusat ini senantiasa akan selalu ada update dan upaya-upaya mengarusutamakan ABCD sebagai sebuah pendekatan.  Selain itu kerjasama-kerjasama yang mungkin dibangun juga menjadi agenda pembicara bagaimana ABCD yang dikembangkan UIN Sunan Ampel tetap dapat berlangsung, termasuk bagaimana membangun kemitraan baik ditingkat lokal, nasional maupun internasional. Keberlangsungan ABCD sudah pasti akan dapat terjaga melalui mata kuliah baik itu berbentuk KKN di UINSA dan mata kuliah ABCD di Program Studi PMI. Oleh karena itu, Dee Brooks berkesempatan menyinggung review kedua mata kuliah tersebut walaupun hanya sekilas saja karena keterbatasan waktu. Dee Brooks berkomitmen membantu UIN Sunan Ampel dan menunggu bagaimana cerita sukses aplikasi ABCD di UINSA. Semoga penggiat-penggiat ABCD berkenan membagikan pengalamannya melalui tulisan-tulisan yang memberikan inspirasi.nn

Participatory Action Research dan Community-based Research di UINSA

Mohammad Hanafi,M.Ag,MA

 Dosen FTK & PIU SILE UINSA Surabaya
“A rose by any other name would smell as sweet“ William Shakespeare.
Perdebatan antara Participatory Action Research (PAR) dan Community-based Research (CBR) serta berbagai pendekatan baru lainnya yang diperkenalkan melalui Program SILE (Supporting Islamic Leadership in Indonesia), seperti Asset-based Community Development (ABCD), di UIN Sunan Ampel Surabaya merupakan hal wajar yang semestinya terjadi di dunia akademik. Adanya kecurigaan terhadap pendekatan baru menjadi bagian dari sikap kritis-ilmiah yang harus dihargai dan dipelihara. Sikap ini seharusnya didasarkan pada visi lembaga dan bukan kecenderungan ideology atau teori tertentu.
UIN Sunan Ampel Surabaya termasuk salah satu Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) yang progresif dengan menerima gagasan inovatif-kritis pendekatan penelitian PAR di pertengahan dekade 2000an. Gagasan ini berhasil diterjemahkan kedalam bentuk kebijakan kampus melalui pusat atau lembaga penelitian dan pengabdian masyarakat untuk menyelenggarakan penelitian dan pengabdian dengan pendekatan PAR. Tidak berhenti sampai disini, PAR juga terlembagakan dengan baik dalam bentuk matakuliah di beberapa fakultas, seperti Dakwah.  Penguasaan civitas akademik UINSA Surabaya terbilang sangat mapan dan mumpuni sampai mendapatkan penghargaan dan kepercayaan tinggi dari kampus lain untuk menjadi nara sumber pelatihan dan penyelenggaraan PAR.
Di awal dekade 2010an ada SILE/LLD (Local Leadership Development), proyek bilateral dua negara, Indonesia-Kanada. Pihak Indonesia ditangani oleh Kemenag RI dan Kanada oleh CIDA (sekarang DFATD) Proyek memilih dua PTKIN sebagai mitra kerja, UIN Alauddin Makassar dan UIN Sunan Ampel Surabaya. Proyek ini bertujuan untuk meningkatkan kapasitas pemerintah dan masyarakat sipil untuk mengembangkan kebijakan dan program yang sesuai dengan prinsip-prinsip demokratis dan mendukung penyelenggaraan pelayanan publik yang efektif. Bentuk dan nilai kegiatan yang dikembangkan adalah kemitraan/partnership antara lembaga pendidikan tinggi, organisasi masyarakat sipil, dan masyarakat akar rumput. Salah satu pendekatan yang ditempuh untuk mencapai tujuan itu adalah CBR.
Sebagai istilah baku, CBR mulai dikenal oleh penulis pertama kali melalui kegiatan CU EXPO 2013 (Community-University Exposition) di Newfoundland Kanada,  kedua di ICES (Institute for Community Engage Scholarship-sekarang CESI) di University of Guelph, ketiga dari alumni Coady Institute yang mempelajari Research for Citizen-Led Change, dan keempat dari alumni CCBR (Center for Community Based Research). Pertama kali mendapati berbagai contoh CBR,  penulis langsung berkomentar, “lho, ini kan PAR, penelitian yang sudah banyak dilakukan di UINSA Surabaya” tapi tidak semuanya bisa dianggap PAR karena tidak menggunakan pendekatan Teori Kritis. Sebelum merasakan adanya nuansa perbedaan antara PAR dan CBR, penulis cenderung menyamakan keduanya; satu penelitian dengan dua nama yang berbeda.
 Sejak saat itu penulis bersama dua kolega dari UINSA, Nabiela Naily dan Ahmad Kemal Riza berusaha menempatkan posisi kedua istilah itu. Salah satu dari keduanya mengusulkan ilustrasi “rumah dan kamar” untuk memposisikan PAR dan CBR. Penulis sendiri keberatan karena ilustrasi ini mengecilkan nilai PAR sebagi kamar dan CBR sebagi rumahnya. Akhirnya kita sepakati bahwa nomenklatur CBR itu mirip dengan gejala bahasa metonym, yaitu penyebutan sesuatu yang menggunakan nama lain yang lebih popular. Semisal, semua produk detergen disebut Rinso, pasta gigi dengan Odol, air mineral kemasan dengan Aqua. Jadi CBR diandaikan seperti detergen, nama generik dan bersifat inklusif sementara PAR adalah salah satu dari berbagai macam penelitian berbasis masyarakat itu.

Kami tidak puas dengan hanya membuat ilustrasi seperti diatas dan sudah memprediksi sekembali dari Kanada pasti ditanya tentang filsafat, paradigma, dan teori yang melandasi CBR karena adanya kesadaran paradigmatik yang kuat di UNISA Surabaya. Layaknya akademisi, kami melakukan kajian pustaka.  Dari sekian banyak tulisan yang kami kaji, ada empat yang sangat memberikan titik terang untuk menjawab kegelisahan itu. Empat tulisan itu adalah Community-Based Research: From Practice to Theory and Back Again oleh Randy Stoecker, Community-based Research and Higher  Education: Principles and Practices oleh  Kerry Strand, Sam Marullo, Nick Cutforth, Randy Stoecker, Patrick Donohue, dan Community-Based Research: Understanding the Principles, Practices, Challenges, and Rationale oleh Margaret R. Boyd dalam buku The Oxford Handbook of Qualitative Research oleh Patricia Leavy, dan Paradigmatic Controversies, Contradictions, and Emerging Confluencies oleh Egon G. Cuba & Yvonna s. Lincoln dalam The Sage Handbook of Qualitative Research (Third Edition) oleh Norman K. Denzin dan Yvonna S. Lincoln.
 Dua tulisan terakhir diatas menunjukkan bahwa tipologi pengetahuan ala Habermas yang dijadikan rujukan untuk mengklasifikasi paradigma penelitian, Positivism, Post-positivism, Critical Theory et.al, dan Constructivism dirasa kurang memadai sekarang ini karena banyak pengalaman produksi pengetahuan baru yang berdasarkan gabungan berbagai paradigma, teori, dan methodologi dan bahkan lintas batas disiplin ilmu. Pengalaman CBR itu adalah salah satunya dan dia baru bisa dikerangkai dalam kategori paradigma baru yang ditawarkan Heron & Reason, yaitu Participatory/Cooperative yang bersifat transdisipliner.
 Hasil survey Stoecker menunjukkan bahwa ada berbagai macam pendekatan dan model dalam CBR. Dia menggambarkan CBR dalam continuum mulai dari yang radikal sampai mainstream (arus utama). CBR Radikal menggunakan teori Konflik Karl Marx, pemikiran pendidikan popular Paulo Freire, dan model penelitian Participatory Action Research atau Participatory Research Orlando Fals Borda dan Budd Hall,  dan berstrategikan community empowerment. Sementara itu, CBR Mainstream menggunakan teori Fungsionalis Talcott Parsons, pemikiran pendidikan ekperiensial Learning by Doing John Dewey, dan model penelitian Action Research Kurt Lewin, dan berstrategikan community development.
 Melihat perkembangan pemikiran saat ini, teori-teori sosial tidak lagi bisa dipandang secara dikotomis, ilmu sosial regulasi vs ilmu sosial emansipatoris/kritis karena keduanya saling berdialog, merevisi, berinteraksi dan selalu ada jembatan untuk mendamaikan keduanya. Oleh sebab itu, muncul berbagai varian pendekatan dan metodologi pengetahuan. Seperti dalam tradisis CBR, diantara dua kutub yang ada, kutub radikal yang identik dengan dunia selatan dan arus utama yang identik dengan dunia utara, terdapat banyak aliran dengan nama yang berbeda sesuai dengan disiplinnya masing-masing yang kesemuanya bermuara kepada tujuan keadilan sosial melalui perubahan atau transformasi sosial.
 Tulisan Stoecker ini bisa dijadikan rujukan untuk memposisikan PAR dan CBR. Disamping itu, dia bersama koleganya Kerry Strand, Sam Marullo, Nick Cutforth, dan Patrick Donohue,  merumuskan pengertian CBR sebagai bentuk penelitian kolaboratif antara kalangan akademik dengan masyarakat yang menggunakan beragam macam metode dengan beragam sumber dan beragam bentuk diseminasinya yang bertujuan untuk menentukan tindakan dan perubahan sosial demi terwujudnya keadilan sosial.
 CBR bukanlah penelitian yang dikendalikan oleh atau didasarkan pada metode tertentu. Sebagaimana dalam tradisi PAR yang dikembangkan baik oleh Orlando Fals Borda & Mohammad Anisur Rahman atau Stephen Kemmis & Robin McTaggart, penggunaan statistik seperti survey dan beberapa metode penelitian kuantitatif lainnya masih diperbolehkan dengan syarat tidak menyulitkan bagi masyarakat, dalam CBR pun metode-metode itu bisa dimanfaatkan dan bahkan dimungkinkan untuk membuat yang baru.
 Tidak terlalu berlebihan untuk dikatakan bahwa apapun pendekatan, teori, dan metode yang digunakan dalam satu penelitian, asalkan  memiliki ciri kolaborasi, menghargai beragam sumber, metode, dan bentuk desiminasi, serta berorientasi pada perubahan sosial demi terwujudnya keadilan sosial,  penelitian itu bisa dikategorikan sebagai community-based research atau penelitian berbasis masyarakat. Kalau istilah ini dipandang tidak cukup memadai bagi berbagai macam pendekatan penelitian dengan tujuan akhir yang sama, rahmatan lil alamin, mari kita buat nomenklatur sendiri.