Oleh: M. Helmi Umam, Dosen Fak. Ushuluddin & Filsafat UINSA
Pada 15-17 Januari 2016 di Jakarta, beberapa puluh orang berkumpul di
sebuah hotel. Mereka adalah para dosen dan peneliti dari beberapa
kampus keagamaan Islam dari Sumatera dan Kalimantan. Mereka adalah
peserta “workshop on CBR”. Sebuah pelatihan bagaimana memulai riset dengan model Community Based Research (CBR).
Acara ini diselenggarakan oleh DIKTIS Kemenag RI. Semua pemateri acara
ini adalah pembelajar dan peneliti CBR dari kampus UIN SA Surabaya.
Pemaparan dimulai dengan penjelasan apa itu CBR dan kenapa CBR layak dipertimbangkan PTKI/N. Ada beberapa alasan kenapa CBR dibutuhkan perguruan tinggi. Pertama, sebagaimana perguruan tinggi yang lain di Indonesia, PTKI/N adalah lembaga pendidikan di bawah naungan negara yang fungsi pokoknya adalah mengemban amanat Tri Dharma Perguruan Tinggi. Ada tiga pekerjaan pokok PT, mendidik, meneliti dan mengabdi. CBR, setidaknya, menggabungkan ketiga fungsi ini menjadi satu rangkaian pekerjaan bernama riset.
Kedua, CBR membawa nuansa baru dalam khazanah riset tanah air. Nuansa baru itu bernama kemitraan. Bahwa pada dasarnya, di masa-masa sebelum ini, riset yang berkembang di Indonesia masih menggunakan paradigma konvensional atau paling jauh menggunakan paradigma partisipatori. Melalui cara-cara konvensional sebuah riset hampir selalu merupakan riset terhadap masyarakat. Komunitas biasanya hanya menjadi objek penelitian (SUBJEK-OBJEK) yang cuma terlibat sebagai bagian untuk melengkapi hasil temuan. CBR memiliki misi utama menempatkan masyarakat sebagai mitra setara dengan peneliti dari kampus. Hubungan (SUBJEK-SUBJEK) ini adalah langkah besar yang menandai bahwa sebuah riset adalah penelitian terhadap masyarakat tetapi penelitian bersama masyarakat.
Ketiga, karena misi CBR adalah membawa masyarakat terlibat bersama, maka unsur pendidikan sangat kental di dalamnya. PTKI/N harus mengambil peluang ini untuk mengampanyekan CBR semata-mata untuk meluaskan spektrum pengajaran agar tidak hanya terbatas di tembok-tembok perkuliahan. Perguruan Tinggi diciptakan untuk memenuhi harapan-harapan masyarakat, oleh karenanya perguruan tinggi seyogianya terus bersama masyarakat dalam pembelajaran dan pendidikan. Masyarakat adalah mitra belajar. Menempatkan masyarakat sebagai teman sejawat dalam membangun pengetahuan bersama adalah langkah bijak, karena sesungguhnya masyarakat adalah guru yang sangat pakar di beragam bidang.
Keempat, muara CBR adalah langkah nyata (action oriented). Membudayakan CBR di kampus berarti memasukkan unsur pengabdian ke dalam kegiatan pendidikan dan penelitian sekaligus. Semua riset seharusnya didesain agar bermanfaat untuk kemartabatan masyarakat agar berkehidupan lebih baik. CBR tidak didesain untuk berakhir sebagai laporan penelitian saja yang teronggok di rak-rak panjang perpustakaan kampus, CBR diciptakan agar berdampak. Titik tekan ini, jika dipegangi secara teguh, maka akan sangat signifikan membantu bangsa untuk melakukan gerakan-gerakan perubahan. Bagi PTKI/N, CBR yang berorientasi gerakan sejalan dengan misi keagamaan yang memang didesain untuk perubahan.
CBR dalam Tiga Paradigma Riset
Setidaknya ada tiga cara bagaimana seorang peneliti melihat lingkup risetnya. Pertama, penelitian konvensional adalah penelitian yang menempatkan periset sebagai subjek dan rumusan penelitiannya sebagai objek. Jika penelitian ini tentang benda-benda, maka objeknya adalah benda-benda. Demikian pula, jika penelitian ini melibatkan masyarakat dalam rumusannya, maka masyarakat adalah juga sebagai objek. Paradigma konvensional ini masih bertahan di beberapa riset dengan tidak banyak konsen pada pelibatan masyarakat sebagai bagian yang aktif berperan. Penelitian konvensial menurut hemat penulis tidak hanya tidak bijak mengapresiasi ‘objek’ dalam wujud manusia dan masyarakat, tetapi juga tidak cukup efisien karena tidak optimal mendayagunakan masyarakat sebagai aset.
Kedua, penelitian partisipatori adalah riset yang telah lebih maju dalam memaknai kemanusiaan. Bagi riset gaya ini, manusia adalah pihak yang harus dilibatkan dan keikutsertaannya penting bagi keberhasilan riset. Hanya saja, di dalam penelitian partisipatori kontinum pelibatan masih dianggap tidak setara sehingga antara peneliti kampus dan peneliti masyarakat tidak memiliki posisi sejajar. Riset partisipatori biasanya dilakukan pada masyarakat dengan tingkat keikutsertaan yang rendah. Di beberapa negara dengan indeks keterlibatan yang kurang, riset ini biasa dipakai sebagai pelopor riset-riset partnership. Mengingat bahwa model ketiga (riset partnership) bukan berarti cocok di segala situasi dan kondisi, maka peran riset partisipatori ini sangat membantu perkembangan riset di Indonesia.
Ketiga, penelitian kemitraan adalah riset kemitraan yang menempatkan periset dan yang diriset dalam satu garis kekuasaan sejajar. Jika tema yang diangkat dalam penelitian ini melibatkan manusia, maka manusia-manusia yang terlibat di dalamnya memiliki hak dan kekuatan yang sama. Riset inilah yang dikembangkan oleh CBR. CBR me-wakaf-kan makna kesetaraan sehingga mengubah energi ‘objek’ yang biasanya diderita ‘komunitas’ menjadi energi ‘subjek’. Adalah memang betul bahwa sebuah riset ini tentang masyarakat (research on community), akan tetapi ini adalah riset tentang masyarakat yang memberi kesempatan masyarakat untuk bersama-sama melakukan sesuatu tentang diri mereka sendiri (research by community). Kedua prinsip ‘on’ dan ‘by’ ini jika dijalankan secara sinergis dan simultan, maka akan menghasilkan komposisi apik bernama CBR, sebuah riset bersama masyarakat (research with community).
Pemaparan dimulai dengan penjelasan apa itu CBR dan kenapa CBR layak dipertimbangkan PTKI/N. Ada beberapa alasan kenapa CBR dibutuhkan perguruan tinggi. Pertama, sebagaimana perguruan tinggi yang lain di Indonesia, PTKI/N adalah lembaga pendidikan di bawah naungan negara yang fungsi pokoknya adalah mengemban amanat Tri Dharma Perguruan Tinggi. Ada tiga pekerjaan pokok PT, mendidik, meneliti dan mengabdi. CBR, setidaknya, menggabungkan ketiga fungsi ini menjadi satu rangkaian pekerjaan bernama riset.
Kedua, CBR membawa nuansa baru dalam khazanah riset tanah air. Nuansa baru itu bernama kemitraan. Bahwa pada dasarnya, di masa-masa sebelum ini, riset yang berkembang di Indonesia masih menggunakan paradigma konvensional atau paling jauh menggunakan paradigma partisipatori. Melalui cara-cara konvensional sebuah riset hampir selalu merupakan riset terhadap masyarakat. Komunitas biasanya hanya menjadi objek penelitian (SUBJEK-OBJEK) yang cuma terlibat sebagai bagian untuk melengkapi hasil temuan. CBR memiliki misi utama menempatkan masyarakat sebagai mitra setara dengan peneliti dari kampus. Hubungan (SUBJEK-SUBJEK) ini adalah langkah besar yang menandai bahwa sebuah riset adalah penelitian terhadap masyarakat tetapi penelitian bersama masyarakat.
Ketiga, karena misi CBR adalah membawa masyarakat terlibat bersama, maka unsur pendidikan sangat kental di dalamnya. PTKI/N harus mengambil peluang ini untuk mengampanyekan CBR semata-mata untuk meluaskan spektrum pengajaran agar tidak hanya terbatas di tembok-tembok perkuliahan. Perguruan Tinggi diciptakan untuk memenuhi harapan-harapan masyarakat, oleh karenanya perguruan tinggi seyogianya terus bersama masyarakat dalam pembelajaran dan pendidikan. Masyarakat adalah mitra belajar. Menempatkan masyarakat sebagai teman sejawat dalam membangun pengetahuan bersama adalah langkah bijak, karena sesungguhnya masyarakat adalah guru yang sangat pakar di beragam bidang.
Keempat, muara CBR adalah langkah nyata (action oriented). Membudayakan CBR di kampus berarti memasukkan unsur pengabdian ke dalam kegiatan pendidikan dan penelitian sekaligus. Semua riset seharusnya didesain agar bermanfaat untuk kemartabatan masyarakat agar berkehidupan lebih baik. CBR tidak didesain untuk berakhir sebagai laporan penelitian saja yang teronggok di rak-rak panjang perpustakaan kampus, CBR diciptakan agar berdampak. Titik tekan ini, jika dipegangi secara teguh, maka akan sangat signifikan membantu bangsa untuk melakukan gerakan-gerakan perubahan. Bagi PTKI/N, CBR yang berorientasi gerakan sejalan dengan misi keagamaan yang memang didesain untuk perubahan.
CBR dalam Tiga Paradigma Riset
Setidaknya ada tiga cara bagaimana seorang peneliti melihat lingkup risetnya. Pertama, penelitian konvensional adalah penelitian yang menempatkan periset sebagai subjek dan rumusan penelitiannya sebagai objek. Jika penelitian ini tentang benda-benda, maka objeknya adalah benda-benda. Demikian pula, jika penelitian ini melibatkan masyarakat dalam rumusannya, maka masyarakat adalah juga sebagai objek. Paradigma konvensional ini masih bertahan di beberapa riset dengan tidak banyak konsen pada pelibatan masyarakat sebagai bagian yang aktif berperan. Penelitian konvensial menurut hemat penulis tidak hanya tidak bijak mengapresiasi ‘objek’ dalam wujud manusia dan masyarakat, tetapi juga tidak cukup efisien karena tidak optimal mendayagunakan masyarakat sebagai aset.
Kedua, penelitian partisipatori adalah riset yang telah lebih maju dalam memaknai kemanusiaan. Bagi riset gaya ini, manusia adalah pihak yang harus dilibatkan dan keikutsertaannya penting bagi keberhasilan riset. Hanya saja, di dalam penelitian partisipatori kontinum pelibatan masih dianggap tidak setara sehingga antara peneliti kampus dan peneliti masyarakat tidak memiliki posisi sejajar. Riset partisipatori biasanya dilakukan pada masyarakat dengan tingkat keikutsertaan yang rendah. Di beberapa negara dengan indeks keterlibatan yang kurang, riset ini biasa dipakai sebagai pelopor riset-riset partnership. Mengingat bahwa model ketiga (riset partnership) bukan berarti cocok di segala situasi dan kondisi, maka peran riset partisipatori ini sangat membantu perkembangan riset di Indonesia.
Ketiga, penelitian kemitraan adalah riset kemitraan yang menempatkan periset dan yang diriset dalam satu garis kekuasaan sejajar. Jika tema yang diangkat dalam penelitian ini melibatkan manusia, maka manusia-manusia yang terlibat di dalamnya memiliki hak dan kekuatan yang sama. Riset inilah yang dikembangkan oleh CBR. CBR me-wakaf-kan makna kesetaraan sehingga mengubah energi ‘objek’ yang biasanya diderita ‘komunitas’ menjadi energi ‘subjek’. Adalah memang betul bahwa sebuah riset ini tentang masyarakat (research on community), akan tetapi ini adalah riset tentang masyarakat yang memberi kesempatan masyarakat untuk bersama-sama melakukan sesuatu tentang diri mereka sendiri (research by community). Kedua prinsip ‘on’ dan ‘by’ ini jika dijalankan secara sinergis dan simultan, maka akan menghasilkan komposisi apik bernama CBR, sebuah riset bersama masyarakat (research with community).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar