Meneguhkan Identitas UINSA
Sejak
UIN Sunan Ampel Surabaya diresmikan oleh Menteri Agama RI pada 4
Desember 2013 lalu, serasa muncul dalam diri kita optimisme baru atau
semacam harapan-harapan gemilang terhadap kampus ini. Hampir semua
diantara kita menyambut dengan tersenyum perwujudan UINSA sebagai world class Islamic university (baca: visi UINSA).
Bahkan diakui atau tidak, ada semacam spirit dan optimisme yang berbeda
kala visi tersebut terungkap ketika kampus ini masih berstatus IAIN dan
saat sudah menjadi UIN sekarang ini.
Boleh jadi, hal ini karena secara rasional status kelembagaan universitas, mungkin --–untuk mengatakan tidak pasti— dianggap lebih prestisius daripada status institut. Mungkin juga karena status kelembagaan universitas dianggap lebih tinggi daripada institut atau sekolah tinggi; lebih banyak keleluasaan dalam mengembangkan program studi dan fakultas; lebih memungkinkan untuk menampung banyak mahasiswa daripada institut; memiliki lebih banyak anggaran daripada institut; dan sebagainya. Kita sering mendengar orang berseloroh, "kalau sekolah tinggi kelasnya masih lokal, kalau institute sudah kelas nasional, tapi kalau berstatus universitas, maka sudah bertaraf internasional". Benarkah demikian?
Nothing is for Free
Mungkin semua orang sepakat bahwa tidak ada yang gratis di dunia ini; semua yang diperoleh oleh seseorang atau lembaga merupakan hasil dari yang diupayakan atau kerja kerasnya. Pula dengan predikat universitas yang unggul, apalagi predikat universitas bertaraf internasional (world class university). Hal tersebut merupakan capaian dari usaha keras, bukan sesuatu yang terberi (taken for granted), gratisan (nothing is for free), alias ujug-ujug datang.
Mungkin semua orang sepakat bahwa tidak ada yang gratis di dunia ini; semua yang diperoleh oleh seseorang atau lembaga merupakan hasil dari yang diupayakan atau kerja kerasnya. Pula dengan predikat universitas yang unggul, apalagi predikat universitas bertaraf internasional (world class university). Hal tersebut merupakan capaian dari usaha keras, bukan sesuatu yang terberi (taken for granted), gratisan (nothing is for free), alias ujug-ujug datang.
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa banyak sekali universitas di Indonesia yang ternyata malah "bercita-rasa" institute. Sebaliknya tidak jarang institute yang malah "bercita-rasa" universitas, bahkan lebih unggul dari mereka. ITB, IPB dan ITS misalnya, meski ketiga perguruan tinggi tersebut secara kelembagaan berstatus institut, namun kualitasnya mampu mengungguli ribuan kampus yang berstatus universitas. Ini bisa dilihat dari prestasinya masuk pada world class university versi Times Higher Education (THE), QS Top Universities, 4International Colleges and Universities, Webometrics, dan peringkat artikel yang terindeks di scopus. UIN Sunan Ampel sendiri, ketika masih berstatus institute (IAIN) juga pernah menggungguli 6 PTAIN yang berstatus universitas (UIN) untuk ranking webometrics pada medio 2010.
Narasi diatas sebenarnya tidak dimaksudkan untuk membandingkan predikat antara universitas, institut atau sekolah tinggi, namun lebih ditujukan sebagai gambaran bahwa betapa menjadikan perguruan tinggi yang unggul bukanlah sesuatu yang taken for granted, perlu melakukan kerja keras dengan melakukan pengembangan sumberdaya manusia (SDM), penguatan infrastruktur, peningkatan kerjasama, peningkatan hasil riset dan pengembangan sistem pembelajaran yang berkualitas.
Lebih dari itu, untuk menjadi perguruan tinggi unggul, meningkatkan kualitas saja juga masih belum cukup, namun harus mempunyai keunggulan distingtif atau ekselensi dari perguruan tinggi lainnya. Hal demikian inilah yang menjadi tantangan bagi UIN Sunan Ampel (UINSA) Surabaya ke depan.
Building Character Qualities
UIN Sunan Ampel sudah mengalami dinamika yang positif. Berbagai perencanaan untuk mengarahkan pada terwujudnya universitas Islam yang berkualitas dan berkarakter pun sudah dilakukan. Tagline UINSA "Building Character Qualities" jelas merupakan spirit bersama yang dicanangkan oleh rector Prof Dr Abd A'la, beserta segenap pimpinan dalam membangun UINSA ke depan (baca: renstra). Bahkan Prof Abd A'la dalam beberapa kesempatan menyatakan bahwa kehadiran UINSA diharapkan akan berkontribusi dalam membangun beradaban Islam dari Indonesia (baca: UINSA). Terkait dengan hal tersebut, setidaknya ada beberapa potensi UINSA yang bisa dikembangkan untuk memperkuat keunggulan distingtif dan karakter khas kampus kita;
UIN Sunan Ampel sudah mengalami dinamika yang positif. Berbagai perencanaan untuk mengarahkan pada terwujudnya universitas Islam yang berkualitas dan berkarakter pun sudah dilakukan. Tagline UINSA "Building Character Qualities" jelas merupakan spirit bersama yang dicanangkan oleh rector Prof Dr Abd A'la, beserta segenap pimpinan dalam membangun UINSA ke depan (baca: renstra). Bahkan Prof Abd A'la dalam beberapa kesempatan menyatakan bahwa kehadiran UINSA diharapkan akan berkontribusi dalam membangun beradaban Islam dari Indonesia (baca: UINSA). Terkait dengan hal tersebut, setidaknya ada beberapa potensi UINSA yang bisa dikembangkan untuk memperkuat keunggulan distingtif dan karakter khas kampus kita;
Pertama, menjadikan UINSA sebagai pusat kajian Islam bagi para akademisi di belahan dunia, baik kajian Islam kawasan ataupun Islam nusantara. Dalam konteks Islam kawasan, dibukanya Program Studi Hubungan Internasional (HI) pada 2014 ini jelas menjadi momentum untuk mensinergikan potensi yang dimiliki UINSA. Banyak dosen dan peneliti kita yang mengenyam pendidikan Islamic studies dari berbagai negara, baik dari Timur Tengah, Timur Tengah, Eropa, Australia, ataupun Amerika. Hal demikian ini tentunya merupakan potensi yang luar biasa untuk pengembangan kajian Islam Kawasan: Pusat Kajian Islam Timur Tengah, Islam Asia, Islam Eropa, Islam Amerika dan seterusnya. Dengan demikian, UINSA ke depan akan mampu menjadi rujukan bagi siapa pun yang membutuhkan resources untuk kajian Islam di belahan dunia. Lebih dari itu, Prodi Hubungan Internasional kita akan memiliki kekhasan (distingsi) dari Prodi HI di universitas lain yang sekedar mengkaji hal-hal yang terkait dengan politik dan sistem pemerintahan internasional). Pula Prodi Islamic Studies di UINSA akan lebih berkarakter.
Demikian halnya dengan kajian Islam nusantara atau Islam Indonesia. Kedatangan penerbit J.E. Brill, the Netherlands ke kampus kita pada 16 Janurai 2014 untuk melakukan Memorandum of Understanding (MoU) dengan Journal of Indonesian Islam (JIIS) UINSA Surabaya merupakan petanda akan besarnya potensi resources kita di bidang Indonesian Islam (Islam nusantara). Mereka ingin melakukan MoU karena tertarik dengan kajian/artikel yang dipublikasikan JIIS. Betapa hal ini merupakan potensi yang bisa dioptimalkan menjadi keunggulan distingtif bagi UINSA yang tidak dimiliki oleh perguruan tinggi Islam lain di Indonesia.
Kedua adalah mengoptimalkan keunggulan di bidang pengabdian masyarakat dengan dua pendekatan sekaligus, yakni Participation Action Research (PAR) dan Asset Based Community Development (ABCD). Sinergi antara kedua pendekatan tersebut, serta potensi SDM kita yang memang cukup andal dalam hal berdakwah di masyarakat, dan kedekatan historis kampus ini dengan masyarakat sangat memungkinkan untuk menjadikan UINSA sebagai kampus yang memiliki keunggulan distingtif di bidang pengabdian masyarakat, atau meminjam bahasa Mas Muzakki sebagai kampus yang dekat dengan masyarakat (The Engaging University).
Ketiga adalah masih terkait dengan dua keunggulan sebelumnya, yakni bagaimana menjadikan UINSA mampu mensinergikan antara penelitian dan pengabdian dalam proses pembelajaran, yakni mengimplementasikan pola studi integratif-transformatif. Maksudnya bahwa apa yang menjadi bahan pembelajaran dan yang diajarkan harus bersumber dari penelitian dan pendampingan kepada masyarakat. Pula hasil perkuliahan dan penelitian diterjemahkan lebih lanjut ke dalam praktik pengabdian kepada masyarakat. Ringkasnya, dalam pola ini, pengajaran, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat merupakan siklus tiada henti. Hal demikian ini, tidak hanya dirasa penting untuk menjamin tingkat akurasi, aktualitas, dan orientasi dari penyelenggaraan tri-dharma perguruan tinggi, namun lebih dari itu akan dapat menjadi ciri khas dari UIN Sunan Ampel Surabaya. Dalam konteks ini, Rektor UINSA sudah mencatat dengan jelas dalam renstra UINSA 2014-2019, bahwa grand desain UINSA untuk lima tahun ke depan adalah "Excelent Islamic university in integrating learning, research and community outreach".
Nah, setidaknya dengan ketiga karakter-khas atau ekselensi tersebut, UINSA akan menemukan identitas dirinya sebagai universitas Islam yang kompetitif dan unggul bersanding dengan perguruan tinggi lainnya yang berkelas dunia (world class universities). Selain itu, dengan terwujudnya UINSA sebagai rujukan bagi para akademisi dalam kajian Islam (kawasan dan nusantara), maka secara otomatis akan menjawab 'teka-teki' bahwa dengan peralihan IAIN ke UIN tidak meminggirkan kajian Islam, namun Islamic Studies malah memperkuat identitas kita sebagai universitas.
Namun demikian, hal tersebut jelas bukanlah sesuatu yang terberi, tentu membutuhkan komitmen bersama, kerja keras dan penciptaan kultur akademis yang kondusif untuk mewujudkannya. Wallahu a'lam bi al-shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar