Perguruan tinggi sebagai lembaga pendidikan memiliki peran yang sangat
penting bagi kemajuan masyarakat. Melalui tridharma perguruan tinggi
menyumbangkan bagaimana kemajuan masyarakat dapat dicapai. Peningkatan
peran perguruan tinggi untuk kepentingan masyarakat diupayakan melalui
penguatan Tridharma tersebut. Salah satu yang dilakukan adalah dengan
memanfaatkan berbagai pendekatan baru yang dianggap lebih tepat secara
kontekstual. Dalam beberapa tahun terakhir, UIN Sunan Ampel Surabaya
atas dukungan Supporting Islamic Leadership in Indonesia (SILE) telah mengujicobakan pendekatan dalam kegiatan pengabdian masyarakat, yaitu menggunakan asset-based community development (ABCD).
Uji
coba ABCD untuk Kuliah Kerja Nyata (KKN) telah memasuki tahun kedua.
Sementara itu mata kuliah ABCD juga telag masuk ke dalam kurikuluum
program studi Pengembangan Masyarakat Islam (PMI). Beberapa skripsi juga
telah menggunakan pendekatan ini untuk upaya pengembangan masyarakat
yang dilaksanakan mahasiswa program studi PMI. Berbagai inisiatif
pemanfaatan ABCD untuk berbagai kegiatan ini memerlukan dukungan agar
terjadi penguatan. Kegiatan mengundang Dee Brooks, selaku direktur Jeder
Institute dan Koordinator Jaringan ABCD Asia Pacific adalah dalam
kerangka tersebut.
Pelatihan
yang dilaksanakan selama lima hari tersebut mencakup setidaknya empat
bidang. Pertama, diskusi mengenai bagaimana kebijakan dan program yang
dapat mendukung terselenggaranya atau berkembangnya ABCD di UINSA,
termasuk juga bagaimana keinginan UINSA menjadi perguruan tinggi yang
memberikan inspirasi dan melayani kebutuhan perguruan tinggi atau
lembaga lain dalam upaya-upaya berkaitan dengan pengembangan masyarakat
maupun pengabdian masyarakat. Diskusi mengenai bagaimana ABCD sebagai
sebuah pendekatan dapat diaplikasi lebih luas lagi adalah melalui
diseminasi hasil-hasil praktek ABCD yang sudah dilakukan, baik di
tingkat KKN maupun sampai pada program studi. Termasuk bagaimana buku
pedoman KKN ABCD agar dapat disempurnakan agar lebih aplikatif pada
konteks kegiatan selain ABCD juga merupakan kebutuhan agar UINSA siap
menyediakan berbagai macam sumber kepada lembaga lainnya. Kesemua ini
dimungkinkan dapat diwujudkan tatkala UIN Sunan Ampel memiliki ABCD center.
Sebagai sebuah pusat yang tidak saja menyediakan sumber daya bagi
aplikasi ABCD di lingkungan UIN Sunan Ampel, tetapi juga keluar
lingkungan UINSA melalui ragam pola diseminasi dan publikasi.
Diskusi
soal kebijaan juga menyinggung bagaimana ABCD dapat mewarnai pola
pengabdian secara lebih luas. Tidak saja hanya diaplikasi untuk KKN
saja, namun dapat diaplikasi pada bagaimana fungsi pembelajaran,
penelitian serta pengabdian UIN Sunan Ampel. Kerangka berfikirnya adalah
ketika UIN Sunan Ampel dapat memetakan segala aset, potensi dan
kekuatan yang dimiliki lalu kemudian dihubungkan dengan aset dan
kekuatan yang ada pada masyarakat, maka sesugguhnya yang terjadi adalah
kegiatan yang saling menguatkan. Hal ini sejalan dengan renstra (rencana
strategis) kemitraan univeritas dengan masyarakat yang dilandasi oleh
visi terciptanya sebuah hubungan yang dekat dan saling memberikan
manfaat antara perguruan tinggi dengan masyarakat.
Prof
Abd A’la, M.Ag, Rektor UINSA dalam sambutan juga menegaskan bahwa
pentingnya perguruan tinggi untuk peka dalam memberikan pengabdian
kepada masyarakat. Berbagai upaya dalam menerapkan pola pendekatan dan
metodologi yang dianggap tepat sangat penting dan harus didukung. UIN
Sunan Ampel memandang bahwa pengabdian kepada masyarakat merupakan upaya
meningkatkan kapasitas warga masyarakat untuk mampu menghadapai
berbagai tantangan dalam kehidupannya. Perguruan tinggi memiliki peran
yang sangat penting dalam hal ini. Perguruan tinggi selayaknya dapat
membuka diri untuk lebih aktif meihat berbagai fenomena sosial
dihadapannya. Kejadian di Tolikara yang menjadi perhatian merupakan
keprihatinan yang membutuhkan peran perguruan tinggi dalam
menyelesaikannya. STAIN di sana menjadi lembaga yang beperan sangat
penting, dan UIN Sunan Ampel Surabaya dapat berperan melalui STAIN
tersebut dengan memperkenalkan pendekatan ABCD yang sangat berorientasi
kepada kemampuan masyarakat.
Wilayah
diskusi kedua adalah menyangkut manajemen atau pengelolaan.
Bagaimanapun juga suatu program kerja yang baik tanpa ada dukungan
kemampuan manajerial pengelolaan yang baik pula maka tentunya hasil yang
diharapkan juga tidak akan dapat optimal. Diskusi banyak memasuki
wilayah bagaimana pengelolan KKN yang lebih berdampak lebih lagi. Hal
paling menarik dalam diskusi tersebut adalah mulai hangat dibicarakan
bahwa kegiatan KKN tidak hanya untuk kepentingan mahasiswa melakukan
pengabdian dan menggungurkan kewajiban saja. Tetapi merupakan sarana
bagaimana perguruan tinggi dapat berbuat yang benar-benar dapat
dirasakan nilai kemanfaatan kepada masyarakat. Banyak sekali
gagasan-gagasan segar yang muncul dalam diskusi ini. Misalnya peluang
dilaksanakan KKN yang dikelola oleh tingkat fakultas. Dasar pemikirannya
adalah karena KKN merupakan kegiatan pembelajaran sehingga harus kuat
disain pembelajaran yang terkandung didalamnya. Untuk memastikan
bagaimana kegiatan pembelajaran, maka peran fakultas melalui wakil dekan
bidang akademik sangat diperlukan. Kegiatan pengabdian dipahami akan
semakin membawa dampak yang lebih baik di masyarakat, ketika
dilaksanakan dengan muatan keilmuan sesuai yang dipelajari oleh
mahasiswa. Ide ini dimatangkan oleh meja dimana yang berkumpul adalah
para pimpinan fakultas. Semangat untuk bagaimana agar KKN dapat lebih
optimal lagi memang harus dibicarakan lebih serius. Mengingat kegiatan
ini juga sarat akan tantangan-tantangan yang seringkali persoalanya
adalah teknis. Hal ini banyak diungkapkan oleh Lembaga Penelitian dan
Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM, terutama oleh PPM (Pusat Pengabdian
kepada Masyarakat). LPPM sendiri menegaskan bahwa kedepan kegiatan KKN
akan diupayakan ditawarkan tidak hanya setahun sekali, mengingat untuk
mengakomodir kepentingan jadwal perkuliahan mahasiswa, serta kepentingan
administrasi di kabupaten. Selain itu KKN juga nanti akan dilaksanakan
secara tematik dan dicoba untuk masuk pada wilayah-wilayah tertentu yang
selama ini belum pernah terkena pelaksanaan KKN tersebut. Manajemen KKN
juga menjadi perhatian dalam kerangka tahapan kerja sebelum
pelaksanaan, saat dilaksanakan dan setelah dilaksanakan.
Narasumber juga memberikan contoh implementasi ABCD dalam konteks masyarakat Australia. Dee Brooks yang juga bagian dari Family Action Program
di Universitas Newcastle Australia ini memberikan contoh bagaimana
kegiatan pendampingan dia kepada keluarga yang tinggal di Karavan.
Kegiatan ini menggunakan pendekatan ABCD dan merupakan kegiatan
pengabdian serta penelitian secara terintegrasi. Ini merupakan disain
integrasi diharapkan dapat memberikan inspirasi kepada UIN Sunan Ampel
Surabaya untuk dikembangkan sebagaimana sesuai dengan rencana
pengembangan UIN Sunan Ampel Surabaya yang tertuang dalam rencana
strategis bisnis.
Cakupan
pelatihan yang lebih mendalam masuk pada penggunaan berbagai alat
maupun teknik dalam melaksanakan pengembangan masyarakat, Misalnya
appreciative inquiry sebagai sebuah alat untuk membangkitkan kesadaran
masyarakat bahwa selama ini mereka kurang memanfaatkan apa-apa yang
mereka punyai dan kekuatan yang ada. Metode pengungkapan dan pemberian
penghargaan atas kemampuan dana pa yang dipunyai masyarakat menjadi
sebuah teknik penyadaran masyarakat atas aset yang mereka miliki.
Diskusi-diskusi soal bagaimana merumuskan pertanyaan yang dapat
membangkitkan, memberikan inspirasi dan menggerakkan orang masuk pada
wilayah pelatihan. Narasumber tidak hanya memberikan contoh pertanyaan,
melainkan peserta diberi kesempatan untuk merumuskan pertanyaan dan
mendiskusikannya di kelas. Peluang ini memberikan kesempatan kepada
kesemua peserta pelatihan untuk mendapatkan pengalaman betapa pentingnya
membentuk sebuah pertanyaan. Kemampuan peserta dalam membuat pertanyaan
terasah karena dalam pelatihan ini juga dilaksanakan dengan praktek
secara langsung. Tidak hanya bagi peserta dari kalangan UIN Sunan Ampel
yang terdiri dari para pimpinan fakultas, LPPM, tetapi sampai kepada tim
pembimbing KKN ABCD. Bagi pembimbing KKN ABCD kegiatan ini sangat
membantu mengasah ketrampilan mereka, dan berharap dapat memberikan
arahan kegiatan ABCD yang lebih tepat. Lebih-lebih lagi bagi pokja yang
juga hadir perwakilan mereka beserta wakil komunitas dampingan.
Selain
teknik membuat pertanyaan dalam appreciative inquiry, peserta pelatihan
juga mendapatkan berbagai teknik lain seperti learning conversation,
lalu bagaimana menghubungkan antara aset individu, komunitas dan
organisasi, serta mencoba mereleksikan bagaimana di konteks masyarakat
Indonesia, maupun praktek pokja. Peserta juga banyak berbagi bagaimana
tantangan yang mereka hadapi ketika mencoba mengungkapkan kebaikan yang
ada di masyarakat Misalnya, ketika masyarakat selalu mengajak orang luar
melihat kebutuhan dan kekurangan yang ada dalam dirinya.
Pokja
sendiri sebagai kelompok masyarakat yang sedang dalam kegiatan
pengembangan masyarakat sangat antusias mencoba mendiskusikan bagaimana
aplikasi teknik sesuai dengan konteks yang sedang mereka hadapi. Salah
seorang wakil komunitas mencoba mendikusikan bagaimana tantangan
masyarakat ketika kebutuhan dasar mereka soal air tidak dapat dipenuhi
oleh pemerintah setempat. Pertanyaan adalah bagaimana menghadapi situasi
seperti ini?. Perwakilan masyarakat tersebut juga menjelaskan bagaimana
terjadi kejadian alam yang membuat ketersediaan air dan penyalurannya
menjadi terganggu di desanya. Masyarakat tentu berharap adanya bantuan
dari luar dalam menghadapi persoalan ini. Untuk merespon hal ini, Dee
Brooks malah menantang peserta untuk dapat merumuskan bagaimana aplikasi
appreciative inquiry dalam konteks kehidupan masyarakat dimana
kebutuhan dasar mereka tidak dipenuhi. Sangat menarik adalah bahwa
narasumber menegaskan pentingnya masyarakat memiliki kemampuan untuk
mengidentifikasikan aset dan kekuatan yang mereka punyai untuk
memperjuangkan apa yang seharusnya mereka dapatkan. Jadi wilayah
masyarakat menjadi seorang warga negara yang aktif jelas tersoroti
sebagai bagian dari focus proyek sile dalam diskusi ini.
Wilayah
diskusi keempat yang juga tidak kalah hangat didiskusikan adalah
bagaimana ABCD di UIN Sunan Ampel Surabaya dapat dipastikan
keberlangsungannya. Tentu yang dimaksudkan adalah ABCD sebagai sebuah
prinsip dan pendekatan umum dari upaya pengembangan masyarakat. Bukan
sebagai instrument, alat, metode atau teknik yang sifat sangat teknis
saja. Pada umumnya peserta banyak mengusulkan adanya sebuah pusat khusus
yang menangani ini. Melalui pusat ini senantiasa akan selalu ada update
dan upaya-upaya mengarusutamakan ABCD sebagai sebuah pendekatan.
Selain itu kerjasama-kerjasama yang mungkin dibangun juga menjadi agenda
pembicara bagaimana ABCD yang dikembangkan UIN Sunan Ampel tetap dapat
berlangsung, termasuk bagaimana membangun kemitraan baik ditingkat
lokal, nasional maupun internasional. Keberlangsungan ABCD sudah pasti
akan dapat terjaga melalui mata kuliah baik itu berbentuk KKN di UINSA
dan mata kuliah ABCD di Program Studi PMI. Oleh karena itu, Dee Brooks
berkesempatan menyinggung review kedua mata kuliah tersebut walaupun
hanya sekilas saja karena keterbatasan waktu. Dee Brooks berkomitmen
membantu UIN Sunan Ampel dan menunggu bagaimana cerita sukses aplikasi
ABCD di UINSA. Semoga penggiat-penggiat ABCD berkenan membagikan
pengalamannya melalui tulisan-tulisan yang memberikan inspirasi.nn
Tidak ada komentar:
Posting Komentar