Mohammad Hanafi,M.Ag,MA
Dosen FTK & PIU SILE UINSA Surabaya “A rose by any other name would smell as sweet“ William Shakespeare.
Perdebatan antara Participatory Action Research (PAR) dan Community-based Research (CBR) serta berbagai pendekatan baru lainnya yang diperkenalkan melalui Program SILE (Supporting Islamic Leadership in Indonesia), seperti Asset-based Community Development (ABCD),
di UIN Sunan Ampel Surabaya merupakan hal wajar yang semestinya terjadi
di dunia akademik. Adanya kecurigaan terhadap pendekatan baru menjadi
bagian dari sikap kritis-ilmiah yang harus dihargai dan dipelihara.
Sikap ini seharusnya didasarkan pada visi lembaga dan bukan
kecenderungan ideology atau teori tertentu.
UIN
Sunan Ampel Surabaya termasuk salah satu Perguruan Tinggi Keagamaan
Islam Negeri (PTKIN) yang progresif dengan menerima gagasan
inovatif-kritis pendekatan penelitian PAR di pertengahan dekade 2000an.
Gagasan ini berhasil diterjemahkan kedalam bentuk kebijakan kampus
melalui pusat atau lembaga penelitian dan pengabdian masyarakat untuk
menyelenggarakan penelitian dan pengabdian dengan pendekatan PAR. Tidak
berhenti sampai disini, PAR juga terlembagakan dengan baik dalam bentuk
matakuliah di beberapa fakultas, seperti Dakwah. Penguasaan civitas
akademik UINSA Surabaya terbilang sangat mapan dan mumpuni sampai
mendapatkan penghargaan dan kepercayaan tinggi dari kampus lain untuk
menjadi nara sumber pelatihan dan penyelenggaraan PAR.
Di awal dekade 2010an ada SILE/LLD (Local Leadership Development),
proyek bilateral dua negara, Indonesia-Kanada. Pihak Indonesia
ditangani oleh Kemenag RI dan Kanada oleh CIDA (sekarang DFATD) Proyek
memilih dua PTKIN sebagai mitra kerja, UIN Alauddin Makassar dan UIN
Sunan Ampel Surabaya. Proyek ini bertujuan untuk meningkatkan kapasitas
pemerintah dan masyarakat sipil untuk mengembangkan kebijakan dan
program yang sesuai dengan prinsip-prinsip demokratis dan mendukung
penyelenggaraan pelayanan publik yang efektif. Bentuk dan nilai kegiatan
yang dikembangkan adalah kemitraan/partnership antara lembaga
pendidikan tinggi, organisasi masyarakat sipil, dan masyarakat akar
rumput. Salah satu pendekatan yang ditempuh untuk mencapai tujuan itu
adalah CBR.
Sebagai istilah baku, CBR mulai dikenal oleh penulis pertama kali melalui kegiatan CU EXPO 2013 (Community-University Exposition) di Newfoundland Kanada, kedua di ICES (Institute for Community Engage Scholarship-sekarang
CESI) di University of Guelph, ketiga dari alumni Coady Institute yang
mempelajari Research for Citizen-Led Change, dan keempat dari alumni
CCBR (Center for Community Based Research). Pertama kali
mendapati berbagai contoh CBR, penulis langsung berkomentar, “lho, ini
kan PAR, penelitian yang sudah banyak dilakukan di UINSA Surabaya” tapi
tidak semuanya bisa dianggap PAR karena tidak menggunakan pendekatan
Teori Kritis. Sebelum merasakan adanya nuansa perbedaan antara PAR dan
CBR, penulis cenderung menyamakan keduanya; satu penelitian dengan dua
nama yang berbeda.
Sejak
saat itu penulis bersama dua kolega dari UINSA, Nabiela Naily dan Ahmad
Kemal Riza berusaha menempatkan posisi kedua istilah itu. Salah satu
dari keduanya mengusulkan ilustrasi “rumah dan kamar” untuk memposisikan
PAR dan CBR. Penulis sendiri keberatan karena ilustrasi ini mengecilkan
nilai PAR sebagi kamar dan CBR sebagi rumahnya. Akhirnya kita sepakati
bahwa nomenklatur CBR itu mirip dengan gejala bahasa metonym, yaitu
penyebutan sesuatu yang menggunakan nama lain yang lebih popular.
Semisal, semua produk detergen disebut Rinso, pasta gigi dengan Odol,
air mineral kemasan dengan Aqua. Jadi CBR diandaikan seperti detergen,
nama generik dan bersifat inklusif sementara PAR adalah salah satu dari
berbagai macam penelitian berbasis masyarakat itu.
Kami
tidak puas dengan hanya membuat ilustrasi seperti diatas dan sudah
memprediksi sekembali dari Kanada pasti ditanya tentang filsafat,
paradigma, dan teori yang melandasi CBR karena adanya kesadaran
paradigmatik yang kuat di UNISA Surabaya. Layaknya akademisi, kami
melakukan kajian pustaka. Dari sekian banyak tulisan yang kami kaji,
ada empat yang sangat memberikan titik terang untuk menjawab kegelisahan
itu. Empat tulisan itu adalah Community-Based Research: From Practice to Theory and Back Again oleh Randy Stoecker, Community-based Research and Higher Education: Principles and Practices oleh Kerry Strand, Sam Marullo, Nick Cutforth, Randy Stoecker, Patrick Donohue, dan Community-Based Research: Understanding the Principles, Practices, Challenges, and Rationale oleh Margaret R. Boyd dalam buku The Oxford Handbook of Qualitative Research oleh Patricia Leavy, dan Paradigmatic Controversies, Contradictions, and Emerging Confluencies
oleh Egon G. Cuba & Yvonna s. Lincoln dalam The Sage Handbook of
Qualitative Research (Third Edition) oleh Norman K. Denzin dan Yvonna S.
Lincoln.
Dua
tulisan terakhir diatas menunjukkan bahwa tipologi pengetahuan ala
Habermas yang dijadikan rujukan untuk mengklasifikasi paradigma
penelitian, Positivism, Post-positivism, Critical Theory et.al, dan
Constructivism dirasa kurang memadai sekarang ini karena banyak
pengalaman produksi pengetahuan baru yang berdasarkan gabungan berbagai
paradigma, teori, dan methodologi dan bahkan lintas batas disiplin ilmu.
Pengalaman CBR itu adalah salah satunya dan dia baru bisa dikerangkai
dalam kategori paradigma baru yang ditawarkan Heron & Reason, yaitu
Participatory/Cooperative yang bersifat transdisipliner.
Hasil
survey Stoecker menunjukkan bahwa ada berbagai macam pendekatan dan
model dalam CBR. Dia menggambarkan CBR dalam continuum mulai dari yang
radikal sampai mainstream (arus utama). CBR Radikal menggunakan teori
Konflik Karl Marx, pemikiran pendidikan popular Paulo Freire, dan model
penelitian Participatory Action Research atau Participatory Research
Orlando Fals Borda dan Budd Hall, dan berstrategikan community
empowerment. Sementara itu, CBR Mainstream menggunakan teori
Fungsionalis Talcott Parsons, pemikiran pendidikan ekperiensial Learning
by Doing John Dewey, dan model penelitian Action Research Kurt Lewin,
dan berstrategikan community development.
Melihat
perkembangan pemikiran saat ini, teori-teori sosial tidak lagi bisa
dipandang secara dikotomis, ilmu sosial regulasi vs ilmu sosial
emansipatoris/kritis karena keduanya saling berdialog, merevisi,
berinteraksi dan selalu ada jembatan untuk mendamaikan keduanya. Oleh
sebab itu, muncul berbagai varian pendekatan dan metodologi pengetahuan.
Seperti dalam tradisis CBR, diantara dua kutub yang ada, kutub radikal
yang identik dengan dunia selatan dan arus utama yang identik dengan
dunia utara, terdapat banyak aliran dengan nama yang berbeda sesuai
dengan disiplinnya masing-masing yang kesemuanya bermuara kepada tujuan
keadilan sosial melalui perubahan atau transformasi sosial.
Tulisan
Stoecker ini bisa dijadikan rujukan untuk memposisikan PAR dan CBR.
Disamping itu, dia bersama koleganya Kerry Strand, Sam Marullo, Nick
Cutforth, dan Patrick Donohue, merumuskan pengertian CBR sebagai bentuk
penelitian kolaboratif antara kalangan akademik dengan masyarakat yang
menggunakan beragam macam metode dengan beragam sumber dan beragam
bentuk diseminasinya yang bertujuan untuk menentukan tindakan dan
perubahan sosial demi terwujudnya keadilan sosial.
CBR
bukanlah penelitian yang dikendalikan oleh atau didasarkan pada metode
tertentu. Sebagaimana dalam tradisi PAR yang dikembangkan baik oleh
Orlando Fals Borda & Mohammad Anisur Rahman atau Stephen Kemmis
& Robin McTaggart, penggunaan statistik seperti survey dan beberapa
metode penelitian kuantitatif lainnya masih diperbolehkan dengan syarat
tidak menyulitkan bagi masyarakat, dalam CBR pun metode-metode itu bisa
dimanfaatkan dan bahkan dimungkinkan untuk membuat yang baru.
Tidak
terlalu berlebihan untuk dikatakan bahwa apapun pendekatan, teori, dan
metode yang digunakan dalam satu penelitian, asalkan memiliki ciri
kolaborasi, menghargai beragam sumber, metode, dan bentuk desiminasi,
serta berorientasi pada perubahan sosial demi terwujudnya keadilan
sosial, penelitian itu bisa dikategorikan sebagai community-based
research atau penelitian berbasis masyarakat. Kalau istilah ini
dipandang tidak cukup memadai bagi berbagai macam pendekatan penelitian
dengan tujuan akhir yang sama, rahmatan lil alamin, mari kita buat
nomenklatur sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar