Kamis, 23 Juni 2016

Participatory Action Research dan Community-based Research di UINSA

Mohammad Hanafi,M.Ag,MA

 Dosen FTK & PIU SILE UINSA Surabaya
“A rose by any other name would smell as sweet“ William Shakespeare.
Perdebatan antara Participatory Action Research (PAR) dan Community-based Research (CBR) serta berbagai pendekatan baru lainnya yang diperkenalkan melalui Program SILE (Supporting Islamic Leadership in Indonesia), seperti Asset-based Community Development (ABCD), di UIN Sunan Ampel Surabaya merupakan hal wajar yang semestinya terjadi di dunia akademik. Adanya kecurigaan terhadap pendekatan baru menjadi bagian dari sikap kritis-ilmiah yang harus dihargai dan dipelihara. Sikap ini seharusnya didasarkan pada visi lembaga dan bukan kecenderungan ideology atau teori tertentu.
UIN Sunan Ampel Surabaya termasuk salah satu Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) yang progresif dengan menerima gagasan inovatif-kritis pendekatan penelitian PAR di pertengahan dekade 2000an. Gagasan ini berhasil diterjemahkan kedalam bentuk kebijakan kampus melalui pusat atau lembaga penelitian dan pengabdian masyarakat untuk menyelenggarakan penelitian dan pengabdian dengan pendekatan PAR. Tidak berhenti sampai disini, PAR juga terlembagakan dengan baik dalam bentuk matakuliah di beberapa fakultas, seperti Dakwah.  Penguasaan civitas akademik UINSA Surabaya terbilang sangat mapan dan mumpuni sampai mendapatkan penghargaan dan kepercayaan tinggi dari kampus lain untuk menjadi nara sumber pelatihan dan penyelenggaraan PAR.
Di awal dekade 2010an ada SILE/LLD (Local Leadership Development), proyek bilateral dua negara, Indonesia-Kanada. Pihak Indonesia ditangani oleh Kemenag RI dan Kanada oleh CIDA (sekarang DFATD) Proyek memilih dua PTKIN sebagai mitra kerja, UIN Alauddin Makassar dan UIN Sunan Ampel Surabaya. Proyek ini bertujuan untuk meningkatkan kapasitas pemerintah dan masyarakat sipil untuk mengembangkan kebijakan dan program yang sesuai dengan prinsip-prinsip demokratis dan mendukung penyelenggaraan pelayanan publik yang efektif. Bentuk dan nilai kegiatan yang dikembangkan adalah kemitraan/partnership antara lembaga pendidikan tinggi, organisasi masyarakat sipil, dan masyarakat akar rumput. Salah satu pendekatan yang ditempuh untuk mencapai tujuan itu adalah CBR.
Sebagai istilah baku, CBR mulai dikenal oleh penulis pertama kali melalui kegiatan CU EXPO 2013 (Community-University Exposition) di Newfoundland Kanada,  kedua di ICES (Institute for Community Engage Scholarship-sekarang CESI) di University of Guelph, ketiga dari alumni Coady Institute yang mempelajari Research for Citizen-Led Change, dan keempat dari alumni CCBR (Center for Community Based Research). Pertama kali mendapati berbagai contoh CBR,  penulis langsung berkomentar, “lho, ini kan PAR, penelitian yang sudah banyak dilakukan di UINSA Surabaya” tapi tidak semuanya bisa dianggap PAR karena tidak menggunakan pendekatan Teori Kritis. Sebelum merasakan adanya nuansa perbedaan antara PAR dan CBR, penulis cenderung menyamakan keduanya; satu penelitian dengan dua nama yang berbeda.
 Sejak saat itu penulis bersama dua kolega dari UINSA, Nabiela Naily dan Ahmad Kemal Riza berusaha menempatkan posisi kedua istilah itu. Salah satu dari keduanya mengusulkan ilustrasi “rumah dan kamar” untuk memposisikan PAR dan CBR. Penulis sendiri keberatan karena ilustrasi ini mengecilkan nilai PAR sebagi kamar dan CBR sebagi rumahnya. Akhirnya kita sepakati bahwa nomenklatur CBR itu mirip dengan gejala bahasa metonym, yaitu penyebutan sesuatu yang menggunakan nama lain yang lebih popular. Semisal, semua produk detergen disebut Rinso, pasta gigi dengan Odol, air mineral kemasan dengan Aqua. Jadi CBR diandaikan seperti detergen, nama generik dan bersifat inklusif sementara PAR adalah salah satu dari berbagai macam penelitian berbasis masyarakat itu.

Kami tidak puas dengan hanya membuat ilustrasi seperti diatas dan sudah memprediksi sekembali dari Kanada pasti ditanya tentang filsafat, paradigma, dan teori yang melandasi CBR karena adanya kesadaran paradigmatik yang kuat di UNISA Surabaya. Layaknya akademisi, kami melakukan kajian pustaka.  Dari sekian banyak tulisan yang kami kaji, ada empat yang sangat memberikan titik terang untuk menjawab kegelisahan itu. Empat tulisan itu adalah Community-Based Research: From Practice to Theory and Back Again oleh Randy Stoecker, Community-based Research and Higher  Education: Principles and Practices oleh  Kerry Strand, Sam Marullo, Nick Cutforth, Randy Stoecker, Patrick Donohue, dan Community-Based Research: Understanding the Principles, Practices, Challenges, and Rationale oleh Margaret R. Boyd dalam buku The Oxford Handbook of Qualitative Research oleh Patricia Leavy, dan Paradigmatic Controversies, Contradictions, and Emerging Confluencies oleh Egon G. Cuba & Yvonna s. Lincoln dalam The Sage Handbook of Qualitative Research (Third Edition) oleh Norman K. Denzin dan Yvonna S. Lincoln.
 Dua tulisan terakhir diatas menunjukkan bahwa tipologi pengetahuan ala Habermas yang dijadikan rujukan untuk mengklasifikasi paradigma penelitian, Positivism, Post-positivism, Critical Theory et.al, dan Constructivism dirasa kurang memadai sekarang ini karena banyak pengalaman produksi pengetahuan baru yang berdasarkan gabungan berbagai paradigma, teori, dan methodologi dan bahkan lintas batas disiplin ilmu. Pengalaman CBR itu adalah salah satunya dan dia baru bisa dikerangkai dalam kategori paradigma baru yang ditawarkan Heron & Reason, yaitu Participatory/Cooperative yang bersifat transdisipliner.
 Hasil survey Stoecker menunjukkan bahwa ada berbagai macam pendekatan dan model dalam CBR. Dia menggambarkan CBR dalam continuum mulai dari yang radikal sampai mainstream (arus utama). CBR Radikal menggunakan teori Konflik Karl Marx, pemikiran pendidikan popular Paulo Freire, dan model penelitian Participatory Action Research atau Participatory Research Orlando Fals Borda dan Budd Hall,  dan berstrategikan community empowerment. Sementara itu, CBR Mainstream menggunakan teori Fungsionalis Talcott Parsons, pemikiran pendidikan ekperiensial Learning by Doing John Dewey, dan model penelitian Action Research Kurt Lewin, dan berstrategikan community development.
 Melihat perkembangan pemikiran saat ini, teori-teori sosial tidak lagi bisa dipandang secara dikotomis, ilmu sosial regulasi vs ilmu sosial emansipatoris/kritis karena keduanya saling berdialog, merevisi, berinteraksi dan selalu ada jembatan untuk mendamaikan keduanya. Oleh sebab itu, muncul berbagai varian pendekatan dan metodologi pengetahuan. Seperti dalam tradisis CBR, diantara dua kutub yang ada, kutub radikal yang identik dengan dunia selatan dan arus utama yang identik dengan dunia utara, terdapat banyak aliran dengan nama yang berbeda sesuai dengan disiplinnya masing-masing yang kesemuanya bermuara kepada tujuan keadilan sosial melalui perubahan atau transformasi sosial.
 Tulisan Stoecker ini bisa dijadikan rujukan untuk memposisikan PAR dan CBR. Disamping itu, dia bersama koleganya Kerry Strand, Sam Marullo, Nick Cutforth, dan Patrick Donohue,  merumuskan pengertian CBR sebagai bentuk penelitian kolaboratif antara kalangan akademik dengan masyarakat yang menggunakan beragam macam metode dengan beragam sumber dan beragam bentuk diseminasinya yang bertujuan untuk menentukan tindakan dan perubahan sosial demi terwujudnya keadilan sosial.
 CBR bukanlah penelitian yang dikendalikan oleh atau didasarkan pada metode tertentu. Sebagaimana dalam tradisi PAR yang dikembangkan baik oleh Orlando Fals Borda & Mohammad Anisur Rahman atau Stephen Kemmis & Robin McTaggart, penggunaan statistik seperti survey dan beberapa metode penelitian kuantitatif lainnya masih diperbolehkan dengan syarat tidak menyulitkan bagi masyarakat, dalam CBR pun metode-metode itu bisa dimanfaatkan dan bahkan dimungkinkan untuk membuat yang baru.
 Tidak terlalu berlebihan untuk dikatakan bahwa apapun pendekatan, teori, dan metode yang digunakan dalam satu penelitian, asalkan  memiliki ciri kolaborasi, menghargai beragam sumber, metode, dan bentuk desiminasi, serta berorientasi pada perubahan sosial demi terwujudnya keadilan sosial,  penelitian itu bisa dikategorikan sebagai community-based research atau penelitian berbasis masyarakat. Kalau istilah ini dipandang tidak cukup memadai bagi berbagai macam pendekatan penelitian dengan tujuan akhir yang sama, rahmatan lil alamin, mari kita buat nomenklatur sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar