Merumuskan Visi Kelautan UIN Sunan Ampel
M Yunan Fahmi,MT, Dosen Prodi Ilmu Kelautan, FST UINSA
Sudah
sedari kecil kita diajarkan dan ditanamkan bahwa Indonesia merupakan
negara kepulauan terbesar di dunia. Sebagai ilustrasi seberapa luas
wilayah Indonesia, anda bisa potong peta Indonesia dan tempelkan di
benua Eropa. Setidaknya, panjang Indonesia hampir sepanjang benua Eropa
itu sendiri. Jika Pulau Weh di Aceh itu diletakkan di Irlandia maka
Merauke akan berada di Turki. Di antara itu ada beberapa Negara besar
seperti UK, Perancis, Italia, Jerman dan Yunani. Berdasarkan data
terakhir, tercatat ada 13. 466 pulau di wilayah Indonesia, dengan
panjang total garis pantainya adalah 95.181 km, sebagai perbandingan
panjang keliling Bumi di khatulistiwa adalah sebesar 40.075, 017 km.
Garis pantai yang dimiliki oleh Indonesia cukup untuk keliling bumi dua
kali!
Dengan
total wilayah yang sedemikian luas, Indonesia memiliki hampir semua
kekayaan alam yang ada di bumi, baik itu kekayaan hayati maupun non
hayati. Oleh karenaya, Indonesia mendapatkan predikat sebagai salah satu
Negara dengan Mega biodiversitas, artinya Negara dengan keanekaragaman
hayati yang sangat tinggi.
Pembangunan Kelautan Indonesia antara Harapan dan Kenyataan
Sejarah
mencatat bahwa masa-masa kejayaan Nusantara adalah ketika kita
menguasai lautan, yakni di masa kerajaan Sriwijaya dan Majapahit.
Setelah runtuhnya Majapahit dan diperparah dengan datangnya penjajah
dari Eropa, kedaulatan kita di laut semakin terdesak. Nenek moyang kita
yang secara fitrah merupakan pelaut seakan dikebiri dan dipaksa menjadi
‘manusia darat’.
Salah
satu momen kebangkitan kita di bidang kelautan adalah pada saat Ir
Juanda mengeluarkan deklarasi yang kemudian kita kenal sebagai
“Deklarasi Juanda”. Akan tetapi sejak saat itu, ada masa-masa dimana
perhatian dan kesadaran kita seakan terlena dan melupakan laut. Kita
didoktrin bahwa Negara kita adalah Negara agraris, dimana pembangunan
besar-besaran lebih menggunakan ‘paradigma pembangunan Negara benua’.
Momen berikutnya muncul pada saat presiden Abdurahman Wahid membentuk
Departemen Kelautan untuk pertama kalinya. Sejak saat itulah, paradigma
pembangunan kelautan kita sedikit demi sedikit mulai dikembalikan ke
jalan yang benar.
Pembangunan
di bidang Kelautan terdiri dari beberapa aspek yang sangat penting
yakni aspek ekologis, social-budaya-ekonomi, serta politik-pertahanan
dan keamanan. Sedangkan beberapa sektor yang terkait secara langsung
maupun tidak langsung dalam pembangunan kelautan adalah sektor
pemukiman, pertanian, kehutanan, perikanan, wisata, perhubungan dan
industry.
Pada
kenyataannya, perkembangan pembangunan masih belum menunjukkan
sinergisitas antar aspek. Ambillah contoh peningkatan di aspek ekonomi
yang seringkali malah kontraproduktif dengan aspek ekologis. Pencemaran
lingkungan semakin meningkat seiring dengan meningkatnya produktifitas.
Pun demikian dengan aspek sosial dengan contoh pada kesenjangan ekonomi
antara nelayan dan tengkulak. Hampir semua desa nelayan di seluruh
kawasan Indonesia merupakan kawasan yang miskin, kumuh dan
termarjinalkan. Hal ini tentu saja masih menjadi pekerjaan rumah yang
sangat berat bagi mereka-mereka yang berkecimpung di bidang kelautan.
Bagaimana mewujudkan kembali kejayaan bangsa melalui bidang kelautan.
UIN Sunan Ampel dan Kebangkitan Kelautan Nasional
Dengan
dibukanya prodi Ilmu Kelautan, yang bernaung di bawah Fakultas Sains
dan Teknologi, semakin memperkokoh pondasi dan memperluas peluang UIN
Sunan Ampel untuk semakin banyak berkontribusi dalam pembangunan
kelautan nasional. UIN Sunan Ampel diharapkan mampu menjawab tantangan
yang selama ini dirasa masih belum mampu dijawab oleh kampus-kampus lain
yang telah lebih dulu memiliki prodi kelautan.
Allah
SWT telah memberikan isyarat tentang persoalan utama yang harus
diselesaikan dalam konteks pembangunan secara keseluruhan di surat
Ar-Rum ayat 41 yang artinya:
“Telah
nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan
tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari
(akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”
Secara
awam, kita bisa ambil pelajaran bahwa segala kerusakan yang terjadi di
muka bumi ini, baik itu kerusakan secara ekologis maupun kerusakan
secara moral-sosial adalah disebabkan ketidakcakapan kita sebagai
khalifah di bumi. Bisa jadi kerusakan itu akibat ketidakmampuan kita
membaca dan menerapkan ayat-ayat kauniyah dan qauliyah yang tersebar di
muka bumi, sehingga teknologi yang kita ciptakan malah semakin merusak
lingkungan dan sistem social-ekonomi yang kita terapkan semakin
memperlebar jurang kesenjangan antara si kaya dan si miskin.
Tanggung
jawab moral untuk menanggung dan memperbaiki segala kerusakan ini
kiranya lebih layak disematkan pada setiap civitas akademika di UIN
Sunan Ampel umumnya dan civitas akademika di fakultas Sains dan
Teknologi pada umumnya. Kenapa demikian? Karena kita secara sadar telah
mengikrarkan diri sebagai kampus yang mengintegrasikan nilai-nilai
keislaman dengan nilai-nilai saintifik yang mana bisa jadi konsep ini
tidak diusung oleh kampus lain yang lebih ‘sekuler’. Satu lagi yang
perlu diingat adalah bahwa hanya UIN Sunan Ampel lah satu-satunya PTAIN
di Indonesia yang memiliki prodi Ilmu Kelautan. Oleh karena itu kita
memiliki pekerjaan rumah utama yang cukup berat yakni mengembalikan dan
mempersiapkan insan-insan cendekia yang tak hanya cakap di kemampuan
eksakta tapi juga memiliki empati yang tinggi dan aqidah yang kokoh.
Setelah kita sadari bahwa satu-satunya jalan mengembalikan kejayaan Nusantara di masa lalu adalah dengan kembali ke khitthah kita, kembali kepada fitrah
atau jati diri kita sebagai Negara kepulauan dengan prioritas utama
pembangunan adalah di bidang kelautan, maka perlu disusun sebuah visi
UIN Sunan Ampel yang berorientasi pada pembangunan kelautan. Visi ini
akan menjadi guidance atau acuan dan tujuan yang ingin dan
harus kita capai yang akan dijabarkan dalam aksi-aksi nyata seperti
contoh KKN di desa-desa pesisir, menggagas kurikulum bermuatan kelautan
untuk usia dini, serta mengevaluasi praktik-praktik di lapangan yang
kurang sesuai dengan aqidah islam.
Harlah
ke-50 tahun UIN Sunan Ampel merupakan momen yang sangat pas dan sangat
strategis jika kita ingin menginisiasi dan merumuskan visi tersebut.
Tentunya hal ini memerlukan kelapangan hati dan kerja sama setiap
civitas akademika UIN Sunan Ampel sebagai wujud aktualisasi nilai islam
yang rahmatan lil alamin demi terwujudnya Indonesia yang baldatun thayyibatun wa rabbun ghafuur.
Wallahu a’lam bish shawab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar