Ketika menghadiri pidato pengukuhan guru besar Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI) Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UIN SA) Surabaya pada 11 Maret 2015 yang lalu, saya menemukan sesuatu yang baru dalam pandangan saya pribadi. Peserta yang hadir mendapatkan sebuah buku sebagai ‘penghargaan’ atas kehadiran dalam perhelatan pengukuhan. Diawal-awal buku tersebut, digambarkan bagaimana perjuangan Bapak Dekan FEBI dengan lika-likunya hingga dikukuhkan menjadi guru besar. Sebuah perjuangan yang berat dan tidak semua orang dapat melaluinya tanpa bekal iman dan kesabaran. Bacaan terhenti sejenak ketika menemukan kalimat “menjadi guru besar jangan terburu-buru”.
Merenungi kalimat tersebut telah membuat benak berdiskusi dengan diri sendiri. Apa setiap insan akademik yang berprofesi sebagai dosen tidak memiliki keinginan menjadi guru besar? Guru besar itu kan puncak karir seorang tenaga pengajar atau dosen. Iya...ya... hukum alam telah mengajarkan bahwa yang berada di puncak itu seperti gambaran piramida, sedikit. Hanya yang mampu bertahan dan menyesuaikan diri dengan perubahan yang dapat menggapainya.
Merenungi isi buku yang dihadiahkan kepada peserta telah menggelitik pemikiran secara spontan bahwa yang harus dibenahi dari seorang guru untuk melahirkan anak didik yang berkarakter itu .... kira-kira apa? Ditengah arus globalisasi saat ini, fenomena yang tampak adalah kebingungan-kebingungan. Kita ini mau kemana. Syukur masih ditemukan dalam isi buku ‘instrumentasi nilai dalam pembelajaran, perspektif sosiologi pendidikan berkarakter’ yang mengangkat nilai-nilai lokal keagamaan yang seharusnya tetap dijaga.
Benak hadirin menjadi lebih cair ketika video yang ditayangkan memberikan pesan bahwa instrumentasi itu menjadi penting dalam proses pembelajaran. Menanamkan nilai-nilai akan menjadi lebih mudah dicerna melalui kreativitas menciptakan syair lagu yang sederhana dan mudah diingat sebagai cara (instrumen) penularan dalam menjaga tradisi nilai-nilai aswaja NU. Itulah kira-kira pesan lagu Syi’iran NU yang ada di buku tersebut.
Ada lagi yang menarik pada saat acara pengukuhan guru besar tersebut, mantan rektor IAIN Sunan Ampel (dahulu sebelum menjadi UIN SA) didaulat untuk menyampaikan orasi ilmiah. Prof. Dr. Nur Syam,M.Si. entah berseloroh atau bercanda menyampaikan, ‘beliau tidak akan berorasi ilmiah karena sudah lupa dengan ilmu sosiologinya sebab tugasnya saat ini lebiih banyak mengurusi tumpukan dokumen-dokumen sebagai pejabat tinggi di kementerian’. Hadirin tertawa.
Pesan yang beliau sampaikan sederhana, India yang mayoritas Hindu itu ikon pariwisatanya justru Islam. Taj Mahal sebagai ikon pariwisata di India itu berkaitan dengan serial film televisi yang sedang marak di Indonesia, Jodha Akbar. Hadirin tertawa lagi. Sebaliknya Indonesia yang mayoritas Islam ikon pariwisatanya justru Budha dengan Candi Borobudurnya. Bla...bla...bla... Orasi yang sederhana tersebut telah menyiratkan pesan jangan melupakan nilai-nilai yang telah diajarkan oleh para pendahulu kita melalui ikon pariwisatanya.
Tulisan yang pernah dimuat di kolom UIN SA pada tanggal 6 Maret 2015 perlu untuk direnungkan. Tulisan tersebut ditulis oleh salah seorang dosen di UIN SA. ‘Redefenisi dosen pejabat struktural’, demikian judul tulisan tersebut. Inti dari tulisan tersebut ingin menyampaikan pesan bahwa tugas utama dosen tidak boleh dikebiri dan dikalahkan oleh tugas tambahan karena telah menyalahi kodrat profesi dosen yang dapat membunuh kreativitas dosen secara perlahan.
Dapat dimaklumi bahwa mempersiapkan bahan ajar untuk sebuah perkuliahan seperti pesan yang disampaikan pada tulisan ‘redefenisi dosen pejabat struktural’ tidaklah mudah. Apalagi bila dosen dituntut untuk berkreasi dengan menggunakan instrumen-instrumen yang memudahkan peserta belajar untuk memahaminya, seperti isi pesan pidato pengukuhan. Belum lagi ditambah dengan persiapan meng up date materi yang disesuaikan dengan perkembangan terkini. Kapan waktu membacanya bila waktu telah disita dan energi telah dihabiskan oleh tumpukan dokumen-dokumen yang sangat administratif. Tulisan ‘redefenisi dosen pejabat struktural’ tersebut telah diperkuat oleh orasi Prof. Dr. Nur Syam, M.Si. dalam acara pengukuhan guru besar hari itu.
Perlu direnungkan bisa jadi hal ini memiliki korelasi dengan kalimat ‘jadi guru besar jangan terburu-buru’. Tulisan ini ingin mengajak pembaca merenungi lompatan-lompatan pemikiran yang disampaikan agar dapat menyimpulkan sendiri maknanya. Perlu direnungkan, apakah tidak sah menjadi guru besar diusia muda? Hal tersebut telah dipatahkan oleh Bapak Dekan FEBI (Akh. Muzakki) yang dikukuhkan menjadi guru besar pada usia 40 tahun. Tentu semua insan akademik mengetahui bahwa untuk menjadi guru besar itu harus memiliki karya-karya ilmiah yang memiliki reputasi.
Terlintas dalam fikiran untuk merenungi lebih dalam makna tulisan ‘redefenisi dosen pejabat struktural’. Juga berusaha memahami apa yang diinginkan oleh penulisnya. Bisa jadi teman seprofesi tersebut juga menginginkan mencapai puncak karir tertinggi profesi dosen sebagai guru besar diusia muda. Tentu hal ini akan menjadi iklim yang positif dan perlu menjadi bahan pemikiran bagi petinggi di UIN SA. Seperti, kalimat yang tertulis di depan kantor gedung rektorat itu ‘khoirunnas anfa’uhum linnas’ dalam konteks profesi dosen karena banyak sejawat yang mengenal penulisnya memang memiliki potensi untuk menjadi guru besar di usia muda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar