Oleh: Wasid Mansyur
Tim Akademik Pusat Ma’had al-Jami’ah UIN Sunan Ampel Surabaya
Di
berbagai kampus, baik negeri maupun swasta, hari-hari ini mulai
kedatangan mahasiswa Baru dalam rangka agar terdaftar di kampus yang
ditentukan sebagaimana terjadi dalam tahun-tahun sebelumnya. Berbagai
agenda awal rutinan menanti bagi mereka yang terdaftar, misalnya
Orientasi Kemahasiswaan (baca: Ospeks atau Oscar) dalam rangka
mengenalkan berbagai aktivitas kampus dari kegiatan kependidikan hingga
kegiatan organisasi internal kemahasiswaan.
Kehadiran
mahasiswa menjadi petanda bahwa pendidikan tinggi ini masih dipandang
salah satu lembaga penting dalam rangka melahirkan kader-kader masa
depan sesuai dengan bidang-bidang yang digelutinya, meskipun tidak
sedikit di antara anak bangsa itu tidak bisa mengikutinya akibat
terjerat problem kemiskinan. Tidak ada harapan dari mereka, kecuali agar
mampu memberikan kontribusi bagus bagi keberlangsungan dunia pendidikan
di kampusnya masing-masing, sekaligus dari mereka muncul komitmen untuk
terus terlibat dalam perbaikan apapun di negeri ini.
Namun,
harapan itu mengalami beragam tantangan, khususnya berkaitan dengan
perubahan cara berpikir mahasiswa yang berbeda bila dibandingkan ketika
masih di tingkat Sekolah Menengah Atas atau Aliyah. Dalam kondisi
transisi pola pikir ini, mahasiswa mudah disusupi ideologi radikal oleh
kelompok tertentu dengan ragam bentuknya, dari pendekatan personal
hingga penyebaran pamflet yang berisi ajakan penegakan Syari’ah Islam
dan Khilafah Islamiyah, termasuk menolak sistem demokrasi yang dipandang
sesat.
Tak
anyal, penulis dalam salah satu kesempatan di Pusat Ma’had Al-Jami’ah
UIN Sunan Ampel, melihat keresahan tergambarkan dari para wali mahasiswa
agar anak-anak mereka bebas dari segala bentuk radikalisasi. Ketakutan
para wali ini cukup beralasan sebab tindakan kelompok radikal dengan
nama apapun cukup meresahkan bukan saja dalam konteks keyakinan yang
cenderung memaksakan dan memandang yang lain salah, tapi sering kali
tindakannya bertentangan dengan spirit nilai-nilai berbangsa yang
dibangun di atas pondasi kedamaian dalam perbedaan.
Maka,
tidak heran beberapa kampus menjadi incaran, dan tidak sedikit berbagai
tindakan radikal dan teror telah melibatkan mahasiswa dari kampus
tertentu. Pertanyaannya, siapa yang bertanggungjawab?, padahal kampus
adalah arena persemaian terdidik yang mengedepankan tradisi ilmiah,
rasional dan pembibitan karakter berkepedulian pada sesama sebagai mana
tersirat dalam nilai-nilai Tri Darma Perguruan Tinggi.
Perlunya Smart Movement
Munculnya ajakan jihad yang dilangsir media youtobe oleh kelompok radikal yang tergabung dalam Islamic State of Iraq and Syria
(ISIS) baru-baru ini memantik keprihatinan banyak pihak, apalagi ajakan
jihad ini dilakukan oleh pemuda Indonesia. Memang, ISIS adalah gerakan
lokal, tapi bila ajakannya dibiarkan tidak mustahil mahasiswa dan pemuda
lainnya akan tertarik dengan model gerakannya, yang otomatis akan
menjadi bom waktu bagi keutuhan NKRI.
Untuk itu, dalam konteks kampus perlu gerakan cerdas (smart movement)
dalam membendung radikalisasi dengan jenis dan nama apapun, termasuk
ISIS. Pertama, perlunya terus mengembangkan dan menebarkan nalar
teologis yang lebih menyejukkan di kampus, apalagi dalam kampus-kampus
umum yang notabenenya nuansa materi keagamaan lebih sedikit dari pada
materi umum.
Bisa
dibayangkan, bila kampus tidak melakukan filterisasi ideologi radikal
atas materi keagamaan yang diajarkan. Setidaknya, pembibitan baru
kelompok radikal akan bermunculan, bahkan kampus tertentu akan menjadi
sarang radikalisme. Oleh karenanya, munculnya pesantren mahasiswa (ma’had al-Jami’ah)
selama ini di berbagai kampus diakui adalah salah satu alternatif dari
langkah membendung radikalisme, di samping peran para pengajar dan
civitas kampus dalam memberikan keteladanan untuk menyuburkan teologi
toleran dan moderat tidak kalah pentingnya.
Sementara
kedua, harus ada orientasi jelas dari keorganisasi keagamaan, baik
internal maupun eksternal. Artinya, organisasi kemahasiswaan harus
semestinya bebas dari paham radikal dan berideologi keindonesiaan sebab
mereka termasuk salah satu stakeholder komunitas kampus.
Karenanya, sinergitas pimpinan kampus dengan organisasi mahasiswa
menjadi penting agar komitmen pimpinan kampus memerangi radikalisme
benar-benar direspon secara baik di level mahasiswa.
Dengan
begitu, maka perlu kegiatan atau training apapun dilakukan secara masif
agar tercipta dalam diri mahasiswa untuk selalu berkreasi dan
berinovasi dalam menatap kehidupan, misalnya training kepemimpinan atau
kewirausahaan serta kepenulisan. Pasalnya, pandangan sempit yang dialami
para mahasiswa tertentu dalam memaknai hidup acap kali membuat mereka
tergoda dalam mengambil jalan pintas untuk melakukan perubahan hidup,
apalagi dengan “iming-iming” mendapat kebahagian abadi di Surga melalui
semangat jihad.
Akhirnya,
gerakan cerdas membendung radikalisme ini tidak bisa dilakukan
sendiri-sendiri. Harus ada kerja sama semua civitas akademik kampus,
sekaligus menjadikan radikalisme sebagai musuh bersama. Dengan cara-cara
seperti ini, kita berharap radikalisme betul-betul tidak ada di kampus
manapun, lebih-lebih di kampus umum karena memang kita hidup di
Indonesia dengan nilai-nilai keragaman yang harus dipertahankan melalui
sikap saling menghormati dan terus menyuburkan semangat gotong-royong.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar